Kitties

Kitties

Jumat, 06 Juli 2012

Jerat Xesbeth (Fantasi Fiesta 2012) REVISED VERSION

Jerat Xesbeth
Oleh Shafia Asy Syifa

Segala yang dapat kau lihat,
Palsu.
Sedangkan yang tak dapat kau lihat,
Nyata.
Penglihatanmu dibuatnya buta.
Beritahu aku, bagaimana rasanya,
Melihat yang bukan sebenarnya,
Namun akhirnya, merasakan hal sebaliknya.
*****
            Aku bukanlah seorang yang percaya akan hal-hal gaib dan semacamnya, biarpun anehnya, aku mempercayai adanya Tuhan. Satu-satunya alam selain alam nyata yang kupercayai hanyalah alam bawah sadar yang ditempati oleh mental atau jiwa seseorang. Tapi, aku menghargai kepercayaan sebagian orang tentang adanya alam gaib dan tidak pernah melarang seorangpun untuk berhenti mempercayainya. Aku tidak peduli. Lagi pula, apa yang bisa didapat oleh seorang psikolog dengan mempercayai hal-hal tidak penting seperti itu.
            Dua minggu pertamaku menjabat sebagai seorang staf konseling di sebuah sekolah dasar bertaraf internasional, berjalan mulus tanpa hambatan yang cukup berarti. Semua permasalahan siswa di sekolah ini masih dalam tahap wajar. Hingga akhirnya, tahap observasiku memasuki kelas tiga.
            Saat itu bel istirahat telah berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk bermain dan membeli makanan serta minuman, kecuali seorang anak yang bernama Erick. Ia tidak beranjak dari kursinya. ‘Ia pasti membawa bekal. Mungkin ia tidak diizinkan untuk makan sembarang makanan.’ Pikirku. Namun, alih-alih mengeluarkan bekalnya, ia keluarkan sebuah sketch book beserta cat air dan perlengkapan lukis lainnya, sebelum kemudian mulai melukis. Hal itu menarik perhatianku.

“Kenapa ia tidak pergi keluar kelas seperti anak-anak lain atau memakan bekalnya?” tanyaku pada guru kelasnya.
“Tidak perlu cemas. Dia memang tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, tapi nilainya tetap bagus.” Jawab ibu Tari dengan  santainya.
“Sejak kapan?”
“Sekitar dua tahun yang lalu, sejak orangtuanya bercerai.” Jawabnya sambil melahap roti isi di hadapannya. Seolah-olah sikap Erick tidak membutuhkan atensi lebih.

Dengan sedikit geram di dada, kuhampiri anak tampan berambut hitam pekat yang sedang bermain dengan imajinasinya itu. “Hai, sedang apa?” tanyaku.
“……”  Ia tak menjawab. Masih menggeluti lukisannya.
“Saya miss Kania, atau kalau kamu keberatan, kamu boleh panggil saya kak Kania. Namamu Erick, kan?”
“……” Lagi-lagi aku diperlakukan seperti Jin yang tak kasat mata. Ia tak bereaksi sedikitpun.
“Ehm, sedang melukis apa?”
 “……”
Kuhela nafas perlahan sambil mencari jalan keluar. Kuambil secarik kertas HVS dari lemari, lalu duduk disebelahnya.
“Boleh saya ikut melukis?” Kali ini ia menoleh dan menyodorkan cat airnya padaku. Kami pun melukis sampai bel kembali berbunyi.
            Aku tahu, ia tidak bisu. Namun, belakangan, kuketahui bahwa Erick mulai berhenti berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya semenjak ia mulai melukis lukisan itu. Gambaran tentang sebuah tempat yang luar biasa indah dengan beragam tumbuhan dan makhluk yang indah pula. Ia selalu melukis dengan tema yang sama, menggambarkan detil-detil tempat menjadi karya yang berkonsep luar biasa. Lukisan tentang sebuah negeri lain yang mungkin hanya ada di imajinasinya saja.
*******
            Sebulan sudah kupantau dan coba untuk menterapinya, tapi hasilnya hampir nihil. Ia hanya bereaksi saat aku melukis bersamanya. Tapi satu hal yang kupahami, ia kesepian dan membutuhkan teman. Oleh karenanya, ia tidak pernah menghindariku. Walaupun masih, tak juga mengeluarkan sepatah kata pun padaku
Selama itu pula, aku masih belum menemukan benang merah antara kedua sebab ‘kebisuannya’ itu. Perceraian orangtuanya, dan lukisan-lukisan itu. Akhirnya aku pun sampai pada sebuah keputusan. Aku perlu mengunjungi rumahnya (melakukan home visit) untuk mengumpulkan data yang lebih terprinci.
Rumah tempat ia tinggal merupakan sebuah rumah bernuansa putih yang berdiri di atas lahan seluas dua ratus hektar. Rumah itu bergaya Eropa dengan empat patung besar sebagai pilarnya. Empat anjing herder dan dua orang satpam bertubuh kekar menjaga gerbangnya.
“Nyonya besar minta maaf karena tidak bisa menemui ibu Kania. Ada kepentingan yang tidak bisa ditunda, katanya. Nyonya juga sangat berterimakasih atas kunjungan Ibu Kania dan meminta saya membatu ibu, sebaik mungkin.” Ujar seorang wanita paruh baya berpakaian kasual.
“Silakan duduk. Oh ya, maaf, ibu mau minum apa?” sambungnya.
“Apa saja, yang penting minuman hangat.” Pintaku. Kebetulan, cuaca petang ini sangat tidak mendukung. Sekelompok awan Cumulonimbus sudah bertengger di kawasan sekitar rumah ini.
“Kalau ada yang mau ibu ketahui, silahkan tanyakan pada saya. Kebetulan, saya ini kepala pelayan yang merangkap sebagai pengasuh den Erick sejak lahir.” Tawarnya, setelah memerintahkan pelayan lainnya untuk membuatkan minuman.
            Setelah berbasa-basi sedikit tentang Erick, aku pun menanyakan inti dari benang kusut pemasalahan ini.  Kuteguk cokelat panas yang dihidangkan padaku. Kuputar otakku, mencoba menemukan pertanyaan yang tepat.
“Mmh, apa Erick pernah berinteraksi dengan ibunya atau orang-orang yang ada di rumah ini, sejak dua tahun yang lalu?”
Wanita itu menggeleng, lesu.
“Sama sekali?”
“Ya, tidak sama sekali. Den Erick hanya mengangguk atau menggeleng untuk menjawab pertanyaan kami.”
“Apa anda tau penyebabnya?”
“Entahlah, tapi semenjak den Erick kembali, setelah ia menghilang dari kamarnya di suatu malam. Ia membisu.”
“Menghilang?” Ini detil penting baru yang kudengar.
“Ya, hal itu terjadi tanpa sepengetahuan nyonya. Kebetulan, saat ia sedang dinas di luar negeri den Erick menghilang. Kami mencarinya keseluruh penjuru rumah, tapi tak juga kami temukan. Hanya sesaat sebelum saya memutuskan untuk  melaporkannya pada nyonya besar, den Erick kembali ditemukan, terbaring lemah di lantai kamarnya.”
“Boleh saya lihat kamarnya?”
Ia mengangguk. Lalu membimbingku menaiki tangga pualam.

Kamar Erick sangat luas, dengan segala fasilitas di dalamnya. Kamar ini semakin mencolok dengan sebuah foto berukuran super besar di depan tempat tidurnya. Foto ia bersama ibunya di depan menara Eiffel “Foto tahun lalu” ujarnya. Saat itu, Erick tertidur di ranjangnya.

“Pintu apa ini? Boleh saya buka?” Tanyaku pada si pelayan, saat melihat sebuah pintu di sudut ruangan.
“Ini pintu balkon, silahkan.” Ia buka pintu itu, dan segera menutupnya kembali karena angin kencang yang mendorongnya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara debam keras dari luar kamar. Sontak, kami pun bergegas keluar kamar. “Maaf bu Kania, saya tinggal dulu. Ibu silahkan melihat-lihat sekitar.” Aku mengangguk, lalu kembali memasuki kamar.
Namun, saat kembali kumasuki kamar itu, Erick sudah tak lagi ada di tempat tidurnya. Secarik kertas gambar menggantikannya.

‘JANGAN IKUTI AKU’ bunyi tulisannya. Tubuhku bergetar.
‘Apa yang sebenarnya terjadi pada anak tak berdosa ini.’ Batinku.

            Kucari ia di sekitar kamar. Ia tidak mungkin meninggalkan kamar ini, karena tadi aku berdiri tepat di depan pintunya. Satu-satunya jalan keluar lain hanya balkon yang kini pintunya menejeblak terbuka, sehingga angin kencang dan tampias air hujan memburu masuk. Dengan gemetar hebat di sekujur tubuh, kulawan arah angin itu dan tergelincir entah ke mana.
******
            Paru-paruku dipenuhi air, nafasku sesak. Yang bisa kurasakan hanya air di mana-mana, sampai sesosok makhluk mengeluarkanku. Ia rebahkan aku di atas rumput selembut kapas. Aroma wangi pun mulai tercium. Samar-samar kudengar suara-suara yang tak dapat kumengerti. Hingga, ia mengalungkan sesuatu dileherku.

“Hei, kau bisa mengerti ucapanku, makhluk tanah?” Tanyanya, sambil menepuk-nepuk pipiku dengan tangan kecilnya. Kukerjapkan mata perlahan. Di depan wajahku, melayang sesosok wanita cantik yang tak lebih besar dari seorang bayi baru lahir. Aku terperanjat, terduduk mundur menghindarinya.
            Aku pasti sedang bermimpi. Bermimpi melihat makhluk juga tempat yang dilukiskan Erick di setiap lembar Sketch book-nya. Bentangan padang bunga berwarna-warni yang menglilingi sebuah sungai berair jernih. Tak jauh dari tempatku duduk, terhampar hutan tropis dengan paduan warna cokelat, hijau, beserta warna-warna indah lainnya. Kutepuk pipiku kencang-kencang, sakit. Lalu kuberanikan diri mencubit pipi makhluk menggemaskan itu di hadapanku.

“Ouch! Apa masalahmu?!” Protesnya sambil mengusap-usap pipinya. “Kau gila ya, melompati air terjun setinggi tiga ratus ribu kepak sayap!”
“Makhluk apa kau ini? Dimana saya?”
“Pengetahuan makhluk tanah memang dangkal sekali. Bagaimana bisa kami mengenal kalian, tapi kalian tidak mengenal kami? Namaku Gael. Aku penjaga gerbang dimensi ini. Kau?”
“Kania. Bisakah kau berhenti memanggil saya makhluk tanah? Risih.” Protesku.
“Bukankah kalian memang diciptakan dari tanah?”
“Menurut kitab memang begitu, tapi…”
“Sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kau jawab, bagaimana bisa kau masuk ke sini?”
“Saya tidak tahu persis. Tadi, saya mencari, Erick. Tunggu..”
“Oh, tidak, kemana dia pergi? Saya harus segera menemukannya!” Seruku seraya mulai mencarinya, berlari tak tentu arah.
“Hei, makhluk tanah, tunggu! Percuma saja kau mencarinya! Lebih baik kita sembunyi sebelum akhirnya aku bisa mengeluarkanmu dari sini!”

            Kuhentikan langkahku saat itu juga, dan hal itu membuat Gael menabrak wajahku. “Apa maksudmu?” tanyaku. Tapi, sayangnya, belum sempat ia menjelaskan apapun kepadaku, terdengar suara riuh rendah, mendekat.
“Oh, tidak Inilah alasan mengapa aku benci makhluk tanah. Kepanikan mereka mengacaukan segalanya. Cepat ikuti aku.” Bisiknya, sambil terbang ke arah semak tanaman bunga berwarna ungu. Kami merunduk bersama.

“Ada apa, Jendral Zeth?” Tanya sesosok makhluk tampan, bertubuh tinggi besar dengan pakaian bak prajurit Romawi, dengan suara berat, serak.
“Bau daging busuk, Pangeran!” Jawab sesosok unicorn bertanduk merah. Sontak kuendus tangan mungil Gael. Harum.
Ia mendengus kesal.
“Yang ia maksud itu, kau, bodoh!” desisnya geram. Aku mengerenyit.

            Entah sejak kapan mereka bergerak, tiba-tiba saja kami sudah terkepung oleh makhluk-makhluk indah itu. Peri bunga, roh pohon, harimau putih, merpati putih, Unicorn, dan banyak lagi yang lainnya, berdiri mengitari kami. Hening. Aku terkesima.

“Jangan terlalu senang, yang kau lihat ini bukanlah kenyataan. Sebentar lagi, pendar di matamu akan berubah muram.” Bisik Gael ditelingaku.

            Saat itu juga, tanah tempat kami berpijak bergetar hebat. Seiring dengan mantra aneh yang diucapkan oleh gerombolan makhluk-makhluk yang mengitari kami. Perlahan-lahan, pemandangan di sekitarku seakan meleleh. Padang bunga dan hutan tropis yang tadi kulihat, menjadi kering kerontang, tanpa sedikitpun warna cerah disana. Aliran sungai pun mengering, dan menyisakan ceruk panjang dan dalam seperti jalur ular raksasa.
Makhluk-makhluk indah di sekitar kami juga berubah, menjadi makhluk-makhluk mengerikan. Sang pangeran tampan, berubah menjadi monster bertaring tajam, dan Jendral unicorn itu berubah menjadi tengkorak kuda bertanduk merah menyala.
Tubuhku bergetar hebat. Perlahan, gerombolan itu menyingkir, memberi celah.  Di tengah celah itu, muncul sebuah pohon hitam teramat besar. Akar-akarnya melilit kedua tangan dan kaki seorang anak kecil berambut hitam pekat. Erick. Sendi-sendi lututku melemah, tubuhku bergetar hebat, tak kuasa menopang beban tubuhku, aku terduduk, lemas.

“Sudah ku bilang jangan ikuti aku!! Kenapa kakak tidak menurut! Kenapa? Bertahun-tahun kucoba untuk menyembunyikan semua ini…”
“… sekarang lihat apa yang telah kakak perbuat! Jika bukan karena kakak, saat ini aku masih bisa bermain dengan pangeran Tarvarian dan Jendral Zeth, juga teman-teman lainnya. Kakak jahat! Jahat!” Jeritnya, dengan deraian air mata.
Sorot mata dan getar suaranya menyiratkan rasa takut, marah dan kecewa. Aku tergugu, entah bisa berkata apa. Air mataku mengalir begitu saja karena penyesalan yang amat sangat. Tak pernah sekali pun aku bermimpi, mencelakai anak bimbinganku sendiri. Jika semua ini hanya mimpi, ingin rasanya segera terjaga. Ironisnya, semua ini nyata.
Baru kucoba menggerakkan tubuhku untuk mendekatinya, makhluk-makhluk di sekitarku segera menghalangi. Dengan sigap Gael meraih tanganku dan menarikku menjauh dari kerumunan itu. Tangannya yang bebas mengeluarkan cahaya menyilaukan dan membuat sebuah lubang di permukaan tanah. Ia dorong aku masuk kedalam lorong cahaya itu sambil berseru, “Maaf makhluk tanah. Saat ini tak ada yang bisa kau perbuat untuk menolongnya, kau harus kembali ke dimensimu. Jika saatnya tiba, akan kubukakan kembali pintu dimensi ini untukmu. Saat bandul kalung di lehermu berpendar, kau akan kutarik masuk kesini. Karena sesuatu yang sudah kau mulai, harus bisa kau akhiri. Bersiaplah.”
******
            Kepalaku sakit bukan main, kupegangi ia dengan kedua tanganku. Untunglah tempat aku terbaring terasa nyaman.“Ibu Kania baik-baik saja?” Tanya sebuah suara di sampingku. Kubuka mata perlahan. Aku terbaring di atas kasur di kamar Erick.
Kutegakkan diri, perlahan, masih dengan sebelah tangan menyangga kepala.  Tunggu, apa tadi aku hanya bermimpi? “Dimana, Erick?” Tanyaku pada pelayan di sampingku. Ia mengerenyit. “Maksud ibu?”
“Saya ingin bertemu Erick, sekarang.” Tegasku. Pelayan itu bertambah bingung. Kemudian, ia menghela nafas.
“Kalau memang itu yang ibu butuhkan untuk penulisan jurnal tentang den Erick, mari ikuti saya.”
‘Jurnal. Jurnal apa yang ia maksud?’ batinku.
Kuikuti ia perlahan meninggalkan ruangan.  Namun, belum sempat kami pergi, satu pemandangan janggal menahan langkahku. Foto Erick dan ibunya yang menggantung di dinding kamar itu, berubah. Hanya tinggal foto ibunya, berdiri sendiri di depan menara Eiffel.
Menyadari kebisuanku, si pelayan berdehem. Aku pun kembali mengekor.
            Wanita itu mengajakku melintasi pekarangan belakang rumah tersebut. Melintasi taman seluas tiga ratus meter dan berbelok ke sebuah lahan yang dibatasi pagar berwarna putih gading. Ia bimbing aku memasuki area tersebut, sampai pada sebuah pusara pualam berpahat nama, Erick Mulya Pradana.
Sendi-sendiku melemas.
“Kebetulan, hari ini tepat dua tahun meninggalnya den Erick akibat kecelakaan mobil. Walau bagaimanapun juga, den Erick tetap ada dihati kami.”

Ini tidak benar. Erick belum meninggal. Aku menggeleng tak percaya. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Kuusap wajah dan leherku. Ada sebuah kalung berbandul batuan langka melingkari leherku.
“Ada apa, bu?”
“Ehm, tidak apa-apa. Saya kira kunjungan kali ini cukup. Terima kasih banyak.” Aku melangkah keluar dengan limbung. Segala hal yang terjadi hari ini benar-benar membuatku bingung, tak mampu kecerna dengan otak logisku yang picik.
*******
            Keesokkan harinya, hal aneh kembali kutemui. Semua data tentang Erick sejak kelas dua, hilang begitu saja. Bahkan namanya menghilang dari daftar hadir di kelasnya. Semua orang berkata persis sama dengan pelayannya. Erick sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu. Hanya beberapa bulan setelah orangtuanya bercerai.
            Butuh waktu berhari-hari bagiku hingga akhirnya aku sampai pada sebuah kesimpulan yang tak ingin kupercayai. Semua itu benar-benar terjadi, dan hanya aku yang menyadarinya. Semua keanehan yang terjadi di dunia ini terpengaruh dengan apa yang terjadi di dimensi asing itu.
Bayang-bayang Erick yang menjerit pilu menghantuiku setiap waktu.  Jika kenyataan bisa kuubah, lebih baik aku saja yang terjebak disana. Biar aku saja yang menanggung penderitaannya. Bayangkan, seorang anak harus menarik diri dari dunia sekitarnya selama lebih dari setahun, hanya untuk menyembunyikan keberadaan dimensi lain yang terlarang.
            Akhirnya, kini aku mengerti alasan Erick melukis dengan tema yang sama setiap hari. Jauh di dasar hatinya, ia pastilah ketakutan. Melalui lukisan itu, ia berharap ada seseorang atau keajaiban yang bisa membebaskannya. Meskipun mungkin ia tidak menyadarinya.
            Seminggu sudah Erick terjebak disana. Kupegangi kepalaku yang terasa berat sejak saat itu, dengan mata terpejam. ‘Waktumu hampir tiba. Bersiaplah.’ aku terkesiap, suara Gael terdengar begitu dekat. Bandul kalung di leherku berpendar menyilaukan. Anak tangga yang sedang kududuki mulai bergetar dan runtuh satu per satu, hingga akhirnya aku ikut tersedot kedalam pusaran kegelapan yang dingin dan mencekam.
******
“Kau baik-baik saja, makhluk tanah?” Tanya Gael setelah aku mendarat dengan sangat tidak sukses, “Menurutmu bagaimana?” seruku dari atas pohon seraya mencoba meloloskan diri dari batang pohon yang menghimpitku, kemudian jatuh ke tanah berdebu panas. Gael terbatuk.
“Bisakah kau mendarat dengan cara yang lebih cantik?”
“Bisakah kamu membukakan pintu dimensi di daratan? Dua kali saya kemari, dan dua kali juga saya terjatuh dari tempat tinggi! Beruntung kali pertama saya kemari, saya terjatuh kedalam air.”
“Oh, maaf kalau begitu. Sayangnya, saat kau datang, tidak ada gerbang darat yang aman dari Barbazos dan Orcka… ”
“Siapa mereka?”
“Iblis yang merasuki pangeran Tarvarian dan jendral Zeth.” Ya, aku ingat, dua makhluk indah yang menjelma menjadi iblis itu.
“Lagipula…” sambung Gael, “Kau tidak benar-benar terjatuh kedalam air saat pertama kau datang kesini.”
“Maksudmu?”
Gael menatap berkeliling. “Dimensi ini, sudah seperti ini jauh sebelum Erick muncul.”
“Tapi, saya benar-benar merasa...” potongku tak percaya, sebelum Gael menarikku menyusuri hutan gersang dengan batang-batang pohon yang mulai terbakar akibat suhu yang teramat tinggi.
“Maaf, tapi kita tak punya banyak waktu,” ujarnya dengan wajah berpendar. “Ada apa?” tanyaku kebingungan.
“Saat Xesbeth semakin kuat, maka aku akan semakin melemah. Ia akan mampu membuka pintu dimensi ini sesuka hatinya, mengambil jiwa makhluk tanah dan meemperkuat dirinya. Hingga akhirnya ia mampu menguasai dimensi manapun.” Jawabnya sampai akhirnya kami tiba di sebuah tempat yang dikelilingi tebing-tebing hitam, runcing. Dengan bingung, kuikuti ia, menaiki undakan di kaki tebing tersebut. Ia sodorkan sebuah busur panah lengkap dengan anak panah yang baru saja ia sihir.

“Bidik bayangan diatas sana. Ia adalah arwah dimensi ini. Jika kau mengenainya, kau akan temukan jawaban atas setiap pertanyaan.” Ia tunjuk sebuah bayangan yang berubah-ubah bentuk, di puncak tebing.
“Tapi saya tidak bisa memanah!”
“Dengarkan baik-baik, kau hanya punya dua kesempatan. lebih dari itu, ia akan pergi. Jika kau tidak mendapat jawabannya, maka kau tidak akan bisa melewati tebing ini dan tak pernah bisa menyelamatkan Erick.”

Aku tak punya banyak pilihan, pendar di wajah Gael semakin cepat. Ia melemah. Dengan tangan beregetar hebat, kubidik bayangan bergerak itu. Anak panah pertamaku melesat, dan meleset. Kubidik lagi bayangan yang kini seperti menatapku, geraknya melambat. Bayangan wajah Erick pun menghantuiku. “Percayalah pada anak panahmu.” Ujar Gael. Kutarik nafas perlahan. Kupejamkan mata, lalu kutatap bayangan itu, tajam. Kulepaskan anak panahku, ia melesat cepat, lalu, mengenainya. Seketika itu juga kegelapan menelanku.

Ia tumbuh di dimensi kami, tanpa kami sadari
Bibit iblis bernama Xesbeth, si Pembohong,
Ia hisap sari kehidupan dimensi ini
Ia rasuki setiap makhluk di sini,
kecuali sang penjaga gerbang, sebab ia tak mampu melihatnya.            
Ia menjadi sempurna saat seorang makhluk tanah murni menjadi temannya,
Sebelum kemudian menjadi mangsanya dengan dalih pengkhianatan.

Hanya seorang makhluk tanah lain berhati tulus yang mampu mengalahkannya,
dengan menyentuh wajah si mangsa dengan tangannya yang berlumur darah pengorbanan.
Itu pun, sebelum ia benar-benar melumat habis mangsanya.
Di balik tebing ini, segala hal dapat terjadi,berhati-hatilah.

            Aku kembali di tempatku berpijak tadi. Tebing tinggi dihadapanku bergeser. “Siapkan panahmu! Jangan takut, mereka tidak dapat menyentuhmu selama Erick masih hidup. Incar inti merah di tubuh mereka!” Seru Gael. Aku pun melangkah menembus kabut tebal di hadapanku dengan Gael yang masih berpendar di sampingku.
            Disana, pasukan iblis yang dikepalai Barbazos menghadang kami. Kuarahkan anak panahku pada Barbazos, tepat mengenai inti merahnya. Satu per satu kulesatkan anak panah pada pasukan itu dengan mantap. Sebagian dari mereka tumbang, sebagian lagi mencoba menyerang balik dengan senjata mereka. Satu pukulan gada mengenai kaki kiriku, kakiku kebas, sakit luar biasa. Mungkin tulangnya patah. Entahlah. Iblis berbentuk banteng raksasa berkaki beruang berdiri di hadapanku, siap memukulkan lagi gadanya. Gael menarikku menjauh. “Bodoh! Jangan buang-buang waktu! Cepat seberangi jembatan itu! Erick ada di seberang sana. Aku dapat melihatnya! Kita belum terlambat!” Serunya sambil menarikku dengan sekuat tenaga.
            Kuambil sebongkah batang kering untuk menyangga tubuhku. Tergopoh-gopoh kucoba berlari menyeberangi jembatan di atas jurang gelap itu dengan Gael terbang rendah di sampingku, dan sekelompok iblis yang mengejar kami. “Akan kucegah mereka. Makhluk tanah, kupercayakan Erick dan dimensi ini kepadamu. Selamat tinggal.” Ujarnya seraya berbalik arah. “Tidak! Gael!” seruku. Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba saja ada cahaya menyilaukan di dekatku, sebelum kemudian batuan besar menghantam jembatan dan memutuskannya. Kucoba meraih apapun yang ada didekatku dan menemukan akar berduri, pegangan jembatan itu. Aku berayun hingga tebing seberang dan menghantamnya. Linu. Peganganku mengendur, kurasakan duri besar menyayat kedua telapak tanganku. Darah segar mengalir membasahi lenganku. Tapi, jeritan Erick memudarkan rasa sakitku. ‘Biarpun aku harus mati, aku tak ingin mati sia-sia.’

            Kupanjat tebing itu, dengan tambahan goresan di tiap gerakan.  Semakin dekat dengan puncak tebing itu, semakin banyak darah mengalir dari tubuhku. Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan, tubuhku memucat. Aku terengah, akhirnya sampai juga aku di permukaan datar. Tak jauh dariku, sebuah pohon hitam besar melilit Erick hingga leher, dengan akarnya. Erick hanya bisa menangis, tak lagi bisa bersuara. Aku tahu, waktuku sempit.
            Aku pun merangkak mendekatinya. “Sabar, sayang. Kakak akan menyelamatkanmu.” Bisikku, tersenyum kepadanya. Namun, tentu saja Xesbeth tidak tinggal diam. Ia lilitkan akar-akar besarnya di kedua kakiku. Walaupun, akar-akarnya berasap, mulai terbakar. “Bukankah kau tak kuat menyentuhku sebelum melumat habis Erick?” tantangku. Ia berkeras, begitu juga aku. Kutarik diriku mendekati Erick. Hanya semeter sebelum aku bisa menyentuh Erick, ia lilitkan akarnya di pinggangku. Aku meronta, mencoba membebaskan diri, tangan kananku mencoba menggapai Erick yang kini tertutup hingga mulutnya. Sedikit lagi, hanya sejengkal lagi aku bisa meraihnya, Xesbeth melilitku hingga leher, namun belum mampu meremukkanku. Erick melemah, ia menguat. Aku terus mencoba menggapai wajah Erick walaupun Xesbeth melilitku hingga kepala. Dari sela-sela akarnya kulihat Erick mulai menutup matanya. Aku menangis, putus asa.

“TIDAAAAK!!!” jeritku.

            Seketika itu juga akar-akar Xesbeth terlepas sehingga aku bisa menyentuh wajahnya yang bebas. Tapi, sudah terlambat. Erick menghilang bersamanya. Kegelapan kembali menelanku. Aku hanya bisa mendengar isak tangisku sendiri. Semua sia-sia, Erick telah habis oleh Xesbeth, Gael pun mungkin sudah tiada. Tinggal aku yang terjebak di sini sendiri. Tangisku semakin jadi, sampai cahaya kembali menyelimuti tempat ini.

            Cahaya yang awalnya hanya berwarna putih, berubah warna, menjadi cahaya yang begitu penuh warna dan terlihat nyaman. Suhu panas yang awalnya kurasakan, berangsur-angsur menjadi sejuk. Sesejuk udara pegunungan yang belum terjamah tangan-tangan curang manusia. Nyeri dan rasa sakit di sekujur tubuhku hilang begitu saja.

“Kakak, kak Kania. Bangun kak.” Seru sebuah suara kecil. Kukerjapkan mataku perlahan. Seorang anak laki-laki duduk disampingku dengan senyuman cerah.
“Erick!” pekikku. Aku terbaring di tepi sungai yang dulu kulihat. Ia mengangguk dan memelukku saat aku duduk.
“Terima kasih.” Bisiknya.
“Kita selamat? Bagaimana bisa?”  Tanyaku.
“Kakak menyentuhku tepat pada waktunya.”
Kami tertawa lega.
“Kalian makhluk tanah yang luar biasa. Bagaimana bisa kami membalas jasa kalian?” Tanya pangeran Tarvarian, dengan Gael, Jendral Zeth dan banyak makhluk indah lain di sampingnya.

            Kupandangi Erick dan Gael bergantian. Momen seperti ini sangat emosianal. Berat sekali mengutarakan apa yang ada di kerongkongan ini. “Katakanlah apa yang memang harus kau katakan, wahai manusia bijak.” Ujar pangeran tampan itu sambil membungkuk rendah, diikuti oleh rakyatnya.

“Tolong pastikan, tak ada orang lain yang bernasib sama dengan kami.”

Ia mengangguk dan memerintahkan Gael membukakan pintu kembali ke dimensi kami.
“Sekembali kalian ke dimensi manusia, gerbang ini akan kututup selama-lamanya.” Ujar Gael seraya membimbingku bangun.
“Baru kali ini kau menyebut kami manusia.” Sindirku
“Ya, kau harus memiliki kesan baik tentang kami disaat terakhir kan?”
Aku tak tau harus tertawa atau menangis mendengarnya. Kugenggam kalung pemberian Gael di leherku, gemetaran.

“Simpanlah. Setidaknya, kami hidup diingatan kalian, dan benda itu sebagai buktinya.”
Aku tertawa getir, hingga pelukan kecil Gael di tangan kananku memudarkannya. Erick ikut tersenyum, kemudian menarik pelan tanganku, menuntunku menuju gerbang dimensi.
“Selamat tinggal” bisik Erick, sambil melambai, hingga pemandangan di sekitar kami berganti menjadi sebuah tempat nyaman yang sangat kami kenal. Dunia nyata.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar