Kitties

Kitties

Rabu, 26 Desember 2012

Baik-Buruk Komersialisasi Pendidikan



BAIK-BURUK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Oleh Shafia Asy Syifa

            Ketika mendengar “komersialisasi”, hal pertama yang terbersit di benak kebanyakan orang adalah bahwa komersil itu buruk! Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, bahkan wajar-wajar saja. Apalagi, jika diamati dari banyak kasus yang terjadi di dunia pendidikan negeri ini. Banyak anak negeri yang harusnya memiliki kesempatan untuk mengenyam setidaknya pendidikan dasar dan menengah, harus meninggalkan bangku sekolah mereka hanya karena masalah biaya yang semakin tinggi. Bahkan, banyak dari mereka yang sama sekali tidak berkesempatan untuk mengenyam pendidikan formal.
Permasalahan biaya pendidikan memang belum memiliki solusi yang terbaik. Lebih dari itu, sebagian pihak memanfaatkan kenaikan biaya ini untuk meraup keuntungan dari para orang tua wali siswa. Beberapa waktu lalu, seorang anak kelas empat Sekolah Dasar Swasta di Tangerang Selatan, yang berpindah ke Sekolah Dasar Negeri di Jakarta, harus membayar sampai dengan empat belas juta rupiah di muka, hanya untuk mendapat bangku di sekolah negeri tersebut.
Pada dasarnya, kenaikan biaya sekolah yang ditetapkan oleh masing-masing yayasan atau komite sekolah bukan tidak beralasan. Kondisi krisis ekonomi global sangat mempengaruhi beban biaya operasional sekolah. Sebut saja beban honor guru yang selalu meningkat, karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat pula. Belum lagi nominal Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah secara menyeluruh. Dana BOS yang disediakan pemerintah di kota masih berkisar 500 ribu rupiah per siswa SD per tahun. Untuk siswa SMP diberikan dana sekitar 800 ribu rupiah per tahun. Sedangkan, hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Depdiknas, untuk menuju sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar 1,8 juta rupiah tiap siswa SD per tahun dan 2,7 juta rupiah tiap siswa SMP per tahun. Jelas perbandingan dana BOS tersebut jauh dari cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan siswa selama satu tahun. Sebut saja biaya yang dibutuhkan untuk membeli buku paket siswa SD dalam satu tahun ajaran yang mencapai lebih dari 300 ribu rupiah. Tak heran, sekolah-sekolah yang memiliki banyak siswa dari kalangan masyarakat menengah ke bawah, hanya menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) sebagai buku pegangan bagi murid-muridnya. Sedangkan buku paket, hanya disediakan di perpustakaan sekolah dalam jumlah dan kondisi yang kurang memadai.   
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa mutu sebuah sekolah berbanding lurus dengan anggaran operasional sekolah yang memadai. Bagaimana bisa sebuah sekolah dapat memiliki tenaga pengajar yang benar-benar kompeten di bidangnya, jika tidak ada anggaran yang cukup? Bagaimana bisa sebuah sekolah menyediakan fasilitas utama dan fasilitas pendukung yang bagus bagi siswa-siswanya tanpa biaya yang memadai?  Apakah hal ini yang menyebabkan hampir seluruh sekolah menjadi komersil?
Memang benar, bahwa kebutuhan operasional sekolah yang membuat pendidikan menjadi mahal. Komersialisasi pada sebuah sekolah dikatakan baik, jika masih berada di batas rasional, sesuai aturan yang ada. Dan juga mendatangkan manfaat bagi seluruh civitas di dalamnya, terutama peserta didiknya. Sebaliknya, sebuah sekolah yang menerapkan komersialisasi yang tidak sehat, adalah sekolah yang telah berbelok dari aturan yang ada, dan keluar dari batas rasionalnya. Manfaat yang didatangkan pun hanya untuk kepentingan segelintir pihak, Bukan untuk peserta didiknya. Lalu bagaimana cara agar Indonesia dapat mengatasi tingginya angka anak putus sekolah, dan memberi kesempatan pendidikan kepada lebih banyak lagi anak bangsa?
Saat ini sudah banyak lembaga dan kelompok orang yang mengadakan sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu. Tetapi, pendidikan yang diselenggarakan tersebut masih pada taraf ‘seadanya’. Media pengajaran yang seadanya, tenaga pengajar ‘seadanya’, dan banyak lagi. Mereka pun tidak memiliki kesempatan  untuk bersaing secara sehat dengan siswa dari sekolah bertaraf Internasional. Yang memungkinkan mereka untuk menunjukkan bakat-bakat yang mereka miliki. Alangkah baiknya jika ada sekolah-sekolah yang menerapkan sistem ‘peduli moral dan prestasi’. Sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas bertaraf internasional, yang memungut biaya normalnya sekolah bertaraf internasional bagi siswa dari kalangan ekonomi menengah ke atas, dan dari biaya tersebut, dapat mendanai anak-anak kurang mampu yang memiliki tekad yang kuat untuk belajar. Keduanya dapat sama-sama bersekolah di sana. Nantinya, anak-anak tersebut bisa berkarya. Karya-karya mereka kemudian bisa dikomersilkan dan dijual, dan hasilnya dapat dimanfaatkan untuk mendanai lebih banyak lagi siswa yang kurang beruntung.
 Mungkin awalnya akan ada banyak penolakkan. Wajar saja jika mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah atas tidak ingin mendapat perlakuan yang sama dengan siswa yang mendapat bantuan dana. Namun, sejatinya hal itu bisa dicegah jika sejak awal sekolah seperti itu didirikan, mereka diberi pengertian akan Visi dan Misi berdirinya sekolah tersebut. Dan yang paling penting adalah kesediaan dari siswa yang berasal dari keluarga yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas untuk duduk berdampingan dengan siswa yang menerima bantuan. Sekolah seperti ini diyakini akan menciptakan kader-kader bangsa yang jauh lebih baik. Karena dengan hidup berdampingan dengan siswa yang kurang mampu, akan mengajarkan mereka untuk menghargai seseorang bukan dari hartanya, tapi dari usahanya. Sebaliknya, siswa yang diberi bantuan, akan terpacu untuk belajar dan berusaha lebih giat, agar kelak memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Sekolah seperti ini memiliki komersialisasi yang sehat. (Aisyah)
(24/11/2012)