Kitties

Kitties

Kamis, 16 Juni 2011

2 Janji Leprechaun di Hutan Jekinstown


Oleh: Shafia Asy Syifa

            Di pagi hari yang cerah, hembusan angin yang menerpa wajahku, jadikan ia semakin membeku disejuknya angin musim semi. Ada perasaan membeku yang tak juga mencair di benakku saat ini. Kemungkinan-kemungkinan yang muncul bak slide-slide acak membuat tatapanku kosong tanpa nyawa. Segala sesuatu terjadi begitu cepat, begitu mengagetkan dan sangat membingungkan.
Kuambil lagi sepotong buku dongeng lama tentang sesosok makhluk fantasi asal Irlandia, serta foto tua, bertuliskan alamat yang sudah tak bertuan dari saku jaketku dan menatapnya lekat-lekat. Buku dongeng itu adalah buku favoritku ketika aku kecil, namun, ketika usiaku bertambah, buku dongeng itu hanyalah bagian dari indahnya fantasi kanak-kanak yang mustahil terjadi. Sampai saat ini, ada satu pertanyaan yang belum juga terjawab, mengapa buku dongeng itu terpotong? potongan yang kumiliki sejak aku kecil hanyalah buku bagian depan dan beberapa kisahnya. Kupejamkan mata rapat-rapat, mencoba mengingat alasan mengapa aku berdiri bak orang bodoh disini, di sisi jalan daerah Dublin, Irlandia.
Ï
            Siang kemarin, merupakan siang terpanas yang pernah kurasakan di Jakarta. Akupun berlari masuk ke rumah tanpa mengetuk pintu. Dahaga yang menyengat di tenggorokanku memaksaku bertindak diluar kebiasaan. Segera kusambar saja gelas kosong diatas meja makan dan mengisinya dengan air dingin lalu menenggaknya habis.
“Kysa! Kapan kamu sampai? Kenapa tidak ketuk pintu sebelum masuk? Mengagetkan ayah saja!” Seru ayah sambil menarik kopor besar dari kamarku. Ia terengah, tubuhnya bergetar halus.
“Maaf ayah, tadi Kysa buru-buru, itu, untuk apa?” Tanyaku seraya melempar pandang ke arak kopor besar disampingnya. Ia menghela nafas.
“Masuklah, ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Perintahnya sambil berjalan memasuki kamarku.
“Ada yang perlu kamu ketahui sebelum keberangkatanmu. Ayah harap kamu dapat mengerti. Jangan memotong, jangan bertanya, dengarkan saja baik-baik penjelasan ayah, waktu kita sempit.”
            Ia ulurkan sebuah potongan buku dongeng lama berjudul Tales of Leprechaun kepadaku. Sebuah buku dongeng anak yang mengisahkan sejenis makhluk fantasi asal Irlandia. Sewaktu aku kecil, ibu seringkali membacakannya berulang-ulang untukku. Lalu ia serahkan selembar foto tua. Foto orangtua berambut cokelat keemasan dan sepasang anak kembarnya dengan warna rambut yang sama. Satu bayi lelaki, dan satu bayi perempuan. Aku mengernyit, bingung.
“Mereka adalah orangtua kandungmu. Itulah sebabnya kamu memiliki warna rambut yang tidak sama dengan kebanyakan orang Indonesia. Kami, ayah dan ibu yang kau kenal, hanyalah orang suruhan orangtuamu. Ibumu melahirkan kalian di Indonesia, saat dinas. Mereka terpaksa menitipkanmu pada kami karena kesehatanmu dulu tidak memungkinkan untuk bepergian jauh.” Ia hela nafasnya perlahan, menatapku dengan miris.
“Namun, saat mereka hendak menjemputmu, sekawanan mafia Perancis yang menaruh dendam pada ayahmu, membunuh mereka. Jangan pernah berpikir bahwa orangtuamu terlibat dengan kelompok mafia itu, atau kelompok kriminal lainnya. Ayahmu hanyalah seorang saksi kunci yang tidak sengaja menyaksikan aksi mereka. Kesaksian ayahmu di pengadilan akhirnya menjebloskan kawanan itu ke penjara. Sejak saat itu mereka bersumpah untuk menghabisi keluarga kecil ayahmu, termasuk kamu, Kysa, dan saudara kembarmu, sekeluarnya mereka dari penjara. Mereka tahu kalian masih hidup, tapi mereka belum berhasil melacak keberadaan kalian. Setidaknya itulah kemungkinannya, karena kalian masih dibiarkan hidup sampai sekarang.
“Saat ini, mafia Perancis itu ada di Jakarta. Kami juga tidak tahu apa maksud kedatangan mereka. Namun bila mereka tahu kau ada disini, mereka akan memburu dan membunuhmu juga. Kami begitu khawatir. Sudah tidak aman lagi bagimu untuk tinggal disini. Semua harta peninggalan orangtuamu telah kami uangkan dan kami masukkan ke rekeningmu. Kami juga sudah pesankan tiket pesawat yang mengarah ke Irlandia sore ini. Maaf, kami hanya memiliki alamat terakhir yang diberikan orangtuamu. Namun telah kami tulis semua yang kami tahu dibalik foto itu. Jangan khawatir, saudara kembarmu mengetahui keberadaanmu. Walaupun kalian belum pernah bertemu, ayah yakin kalian akan saling mengenal.” Jelasnya panjang lebar, terburu-buru.
        


 Penjelasan itu membuatku kaget bukan kepalang. Kekagetan itu membungkam mulutku rapat-rapat. Lidahku kelu. Ayah menatapku nanar. Dengan gemetar hebat di sekujur tubuhnya, ia  memelukku erat dan berbisik.
“Selamat jalan, nak. Semoga keajaiban negeri dongeng itu membawamu menemukan keluargamu.”
Ï
            Hembusan angin dingin membelai rambut dan wajahku, memaksaku membuka mata. ‘Ini bukan mimpi’ batinku. Masih terngiang kalimat terakhir ayah tentang keajaiban negeri dongeng ini. Kubuka lagi halaman demi halaman potongan buku dongeng itu. Memandangi gambar makhluk mungil berjenggot yang dipercaya memiliki kemampuan untuk mengabulkan permohonan siapapun yang berhasil menangkapnya.
            Kupandangi lagi gambar Leprechaun di buku itu. Hhh.. Seandainya saja aku bisa menangkap salah satu dari mereka, tak akan kubebani ia dengan tiga permintaan. Aku hanya akan meminta dua permintaan padanya. Menuntaskan permasalahan keluargaku dengan para mafia Perancis itu dan menemukan saudara kembarku.
            Tapi dimana aku bisa menemukannya? Dataran Irlandia begitu luas. Lagi pula, aku tidak tahu harus berkomunikasi dengan bahasa apa jika bertemu dengannya kelak. Sedetik kemudian, aku terkesiap, lalu menertawai intuisi konyolku itu. 'menangkap Leprechaun, si makhluk dongeng di Irlandia yang luas', kedengaran jauh lebih konyol dibandingkan ide 'menangkap Nyai Roro Kidul di pantai selatan pulau Jawa'. Saking gelinya aku tertawa, seorang lelaki tua menanyaiku.
"Are you all right, young lady?” Kujawab bahwa aku baik-baik saja lalu kejelaskan mengapa aku tertawa sendiri. Lelaki tua itu hanya tersenyum, dan berkata,
"Well, you can start to find it in the early morning on Jekinstown wood on southern of Dublin. If you can't find it, at least you won't be so disappointed. It's middle of April, a carpet of bluebells spread along it." Ujarnya, sambil tersenyum dengan seringaian tak lazim.
Belum sempat kuucapkan terimakasih, sosok itu telah menghilang entah kemana. Bulu kudukku meremang. Namun, semisterius apapun lelaki tua itu, tak ada alasan bagiku untuk tidak mencoba sarannya.
Ï
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali di bagian selatan daerah Dublin, kutemukan diriku tertegun takjub akan maha karya Tuhan yang ada di sekelilingku. Sejauh mata memandang yang dapat kulihat hanyalah gradasi warna putih, hijau, cokelat, serta biru keunguan, udara segarnyapun seakan menusuk indera penciumanku. Hijaunya rerindangan  dedaunan bermeter-meter diatasku, yang disangga oleh batang-batang pohon yang kokoh berwarna cokelat, dihiasi dengan milyaran bunga lonceng biru keunguan. Karena luasnya hamparan bunga tersebut, kabut pagi yang biasa berwarna putih, kini bercampur dengan warna biru keunguan. Sungguh pemandangan yang luarbiasa indah memesona. Mungkin seperti inilah dunia para peri negeri dongeng yang digambarkan banyak orang, dan sekarang aku sedang berdiri terkagum-kagum menatapnya. Tempat ini mengingatkan akau pada mimpi masa lalu yang tak berhasil kuingat sepenuhnya. 
            Rindangnya pepohonan, serta rapatnya hamparan bunga lonceng biru seakan memanggilku, mengundangku untuk bersandar di salah satu batangnya. Kubuka kembali potongan buku ‘Tales of Leprechaun’ dipangkuanku. Kurentangkan buku dongeng itu dihadapan wajahku, kupandangi lekat-lekat gambar Leprechaun di lembaran buku itu, berharap dapat mentransformasi gambar itu menjadi nyata.
            Hembusan angin dan gemeresak kecil dedaunan seakan berirama, membuaiku bak lagu penghantar tidur terindah yang pernah kudengar. Sulit bagiku untuk membedakan, masihkah aku terjaga, atau tengah terlelap.
            Tak lama kemudian, bunyi pukulan palu dan gemeresak tanaman bunga lonceng biru terdengar halus, mengagetkanku. Kusapu pandanganku berkeliling, mencari sumber datangnya suara tersebut. Dan di sana, di antara rerimbunan tanaman bunga lonceng biru, kulihat siluet kecil berwarna hijau. Kudekati objek itu perlahan, mencoba untuk tidak membuat suara yang akan mengusir siluet kecil itu. Ketika cukup dekat bagiku untuk melihat dengan jelas, saat itu pula aku terperanjat dan hampir terjerembab mencium bumi. Namun, untunglah, sosok belum juga menyadari kehadiranku. 
          Di sana, duduk sesosok makhluk kerdil berpakaian dan bertopi hijau serta menggunakan ikat pinggang berwarna hitam, duduk memunggungiku dan melakukan sesuatu yang tak dapat kulihat jelas. Sepertinya ia sedang memukulkan palu diatas sesuatu.



Tanganku bergetar hebat, detak jantungku berpacu dengan sangat cepat. Itulah, itulah sosok yang sedang kucari, sesosok Leprechaun yang dapat mengabulkan keinginanku. Namun sosok Leprechaun yang satu ini agak berbeda dengan yang sering kulihat di buku-buku dongeng, Ia tidak tua dan berjenggot. Wajahnya juga tidak menyeramkan. Bahkan wajah itu terlihat ceria dan sangat ramah.
            Kuberanikan diriku untuk lebih mendekat. Saat sudah cukup dekat bagiku untuk meraihnya, kutelan liurku dua kali dan mendekapnya erat-erat. Tak lupa kulepas topi dari kepalanya, karena yang ku tahu, topi itulah yang memungkinkan mereka untuk berpindah tempat dalam satu kedipan mata. Ia meronta-ronta sampai sebuah koin emas terjatuh dari sakunya. Segera kukatakan padanya bahwa aku butuh bantuannya.
            “Ah… you got me” ujarnya pasrah ketika sadar pelukanku padanya sangatlah erat. Aku terkesiap, ia berbicara dengan bahasa Inggris standar, bukan bahasa Anglo Saxon atau entah bahasa lain yang tak kumengerti.
            “Okay. Please just give me my hat back and release me, I will make your three wishes come true as the reward” lanjutnya.
            “Please, I just want you to help me finishing my family's problem with the French Mafia and I want to find my twin brother.” Jawabku sambil meregangkan pelukanku. Dan memasang kembali topinya. Iapun mengangkat alisnya dan tersenyum lebar.
            “So, the little chick wants to make the foxes let it go? And let me suppose, why do you wish to find your twin!” lalu ia meneruskannya dengan lelucon konyol yang ia buat sendiri, yang kira-kira berarti: ‘karena semut dari lubang yang sama akan selalu saling mencari untuk mengumpulkan makanan!’, ia terkekeh geli. Padahal bagiku lelucon itu tidak lucu sama sekali. Akupun terdiam.
            Pada akhirnya, ia berkata bahwa ia akan menghapus habis ingatan sekelompok mafia Perancis itu tentang keluargaku. Sedangkan untuk menemukan saudara kembarku, yang kubutuhkan hanyalah menyusuri jejaknya menuju utara. Lalu, ia menghilang. Tiba-tiba saja pemandangan disekelilingku berubah, membawaku ke sebuah tempat temaram, berantakan. Diasana, terdapat seseorang berpostur tinggi dan berbadan kekar berdiri membelakangiku. Menembaki sebuah foto yang ditempel di papan tembak. Foto itu sudah berlubang dan berasap dimana-mana, namun aku masih bisa mengenali foto di papan tembak itu. Foto yang sama dengan foto tua milikku. Hatiku mencelos, 'Si mafia Perancis', batinku. 
        Lalu, semua terhenti, bak sebuah adegan film yang sedang dipause. Saat itu juga, suara nyaring si Leprechaun terdengar di ruangan itu. "So the foxes are gonna completely forget the little chick and her family from now on" ujarnya, seperti membaca mantera. Perlahan, gambar di foto berlubang itu mulai memudar, lalu menghilang sepenuhnya. Dan semua kembali bergerak lagi. Kulihat si mafia memandang heran foto putih kosong berlubang di papan tembak itu dengan pistol yang ia arahnya padanya. Iapun menjatuhkan pistolnya ke lantai  dengan suara yang cukup keras. 
        Aku terjaga. Masih duduk bersandar di tempat yang sama. Aku mendengus kesal. ‘ternyata hanya mimpi’ gerutuku dalam hati. Akupun memutuskan untuk bangkit dan mulai mencari Leprechaun sungguhan. Namun saat aku berdiri, ada sebuah benda yang terjatuh dari pangkuanku, benda itu berbentuk koin dan berpendar berwarna emas. Aku terkejut bukan main, kupungut benda itu, dan coba tebak, itulah koin emas yang tidak sengaja dijatuhkan si Leprechaun tadi. Namun ada keraguan terselip dihatiku. Kutimbang-timbang koin emas di genggamanku. Jika memang benar aku tidak bermimpi, apakah benar, para mafia Perancis itu sudah sepenuhnya melupakan kami? Bagaimana cara memastikannya. Kembali keperhatikan koin emas yang berpendar itu. ‘Biarlah waktu yang menjawabnya’ batinku pasrah. Tidak ada salahnya bagiku untuk mencoba petunjuk si Leprechaun tadi. Segera kuambil kompas dari dalam tas ransel besarku dan mulai berjalan menuju utara. Kulepaskan harapan setinggi-tingginya ke langit musim semi Irlandia.
Beberapa meter setelah aku melangkah, disana, di jalan setapak menuju utara, kulihat jejak-jejak kecil berpendar emas yang tersamarkan oleh rimbunnya tanaman bunga lonceng biru. Aku yakin, jejak itulah yang dimaksudkannya untuk kuikuti. Aku tersenyum senang melihatnya. Akhirnya satu petunjuk lagi muncul di hadapanku. Maka kumasukkan kembali kompasku dan mengeluarkan selembar foto tua dari saku jaketku. Ada hangat yang menyeruak dihatiku dan menjalar keseluruh tubuhku saat menyusuri jalan setapak itu sambil memandangi foto tua itu sesekali. Harapan untuk bertemu dengan saudara kembarku membuncah di dada dan hatiku, membuat dadaku sesak olehnya. Jantungku bertalu-talu seiring dengan irama nafasku yang menggebu, tak sabar akan kemungkinan yang mungkin ada didepanku.



Kupercepat langkahku, setengah berlari. Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru hutan untuk menemukan tanda-tanda keberadaan orang lain di hutan ini. Namun belum ada seorangpun yang terlihat. Asaku hampir pupus, saat melihat jejak-jejak kecil itu perlahan memudar dan menghilang satu per satu.
            “Oh tidak, tunggu, Jangan pergi dulu!”
Kucoba berlari sekencang mungkin, mengejar jejak yang masih tersisa tanpa memperhatikan lagi arah yang kutuju. Ketakutan mulai merayapi tubuhku, jejek-jejak itu semakin cepat menghilang. Kutambah kecepatanku, tak peduli akan beban tas punggung yang semakin bertambah saat staminaku mulai menurun. Semakin cepat jejak itu menghilang, semakin putus asa aku dibuatnya. Aku terengah, hampir kehabisan nafas, pandanganku mulai meredup, semakin redup, lalu semuanya tiba-tiba gelap. Tubuhku ambruk, masih memegang erat foto tua serta kepingan koin emas itu.
Ï
Denyut perih di dahiku membawaku kembali ke tempat yang dipenuhi oleh siluet cokelat dan hijau. Gelap yang menelanku perlahan memudar. Kukerjapkan mata perlahan. ‘Dimana aku?’ batinku, bingung. Tempatku berada saat ini merupakan ruangan yang tidak terlalu luas, namun ada hal magis di ruangan ini yang membuatku merasa familiar dengan ruangan ini. Seperti kembali ke masa lalu yang aku tak sadar pernah ada di dalamnya. Ruangan ini berornamen kayu, berhiaskan gambar dan hiasan-hiasan Leprechaun berwarna hijau. Semburat jingga kemerahan memasuki ruangan lewat jendela yang menghadap langsung ke hutan yang dihiasi hamparan bunga lonceng biru dikejauhan. Kucoba untuk bangkit dari pembaringan untuk dapat melihat lebih jelas. Denyut di dahiku bertambah saat kuangkat kepalaku dari atas bantal. Kuraba dahiku dan temukan perban yang menempel rapi diatasnya. Perban rapi juga menutupi pergelangan tangan kananku. Saat kucoba berdiri pun, ada nyeri di kedua lututku. ‘Apa yang terjadi? Mengapa banyak luka di sekujur tubuhku?’ Kupandangi lagi hutan berlatar jingga kemerahan disana. “Ah, jejak Leprechaun itu! tidak, aku tidak boleh kehilangan jejak itu, tidak seharusnya aku menyerah begitu cepat”. Saat itu juga kuputuskan untuk kembali mencari  jejak itu di hutan Jekinstown sebelum mentari benar-benar tenggelam, tak peduli denyutan-denyutan perih di sekujur tubuhku.
            Namun perhatianku teralih. Ada pemandangan janggal di ruangan ini. Semua pigura foto di ruangan ini setengah kosong. Separuh pigura-pigura itu terisi foto-foto seorang lelaki muda berambut cokelat keemasan. Seakan sengaja disisakan untuk separuh foto lainnya. Kusapu pandangan berkeliling, dan temukan pemandangan ganjil lainnya. Di atas meja mungil di samping ranjang, tergeletak sebuah buku kumpulan dongeng berwarna hijau tanpa cover. Judul yang tertera di halaman pertama berbunyi ‘3 Leprechaun’s Promises’, dan halaman itu bernomor 23. Aku terhentak, segera kurogoh saku jaketku dan melihat halaman terakhir potongan buku dongengku. “Tidak mungkin! Ini semua pasti hanya kebetulan.” Sangkalku saat melihat angka 22 di halamannya. Lantas, kusatukan kedua potongan buku itu, dan keduanya menyatu dengan sempurna. Lututku bergetar halus dan melemah seketika. Aku berlutut. “Tidak, hal ini belum membuktikan apapun. Belum”
            Ketika itu, terdengar ketukan pintu, dan seorang pria paruh baya masuk dan membungkuk. “Are you all right, Miss?” tanyanya seraya mendekati dan memapaku kembali ke ranjang. Aku mengangguk, lalu bertanya dimana aku sekarang. Iapun menjelaskan bahwa rumah ini adalah rumah tuan mudanya. Tuan muda-nya-lah yang membawaku kesini dan memintanya untuk menemaniku sampai ia kembali. Lalu ia menawarkan aku secangkir cokelat panas. Aku mengangguk dan berterimakasih. Pria paruh baya itupun meninggalkan ruangan.
            Tiba-tiba saja, bunyi ‘POP’ disampingku mengagetkanku. Ia melompat-lompat riang sambil melambaikan koin emas di tangannya.
            “I take this back as I’ve fulfilled my promises!” Serunya, masih sambil berlompatan.
            “No, I haven’t got any proof that the Mafias have forgotten us! And you haven’t taken me to my twin! Come back here!” Pintaku sambil berusaha meraihnya yang terus saja menghindar dariku. Ia terus saja mengucapkan kalimatnya itu tanpa mempedulikan aku yang juga terus berkata bahwa belum ada bukti riil bahwa mafia Perancis itu sudah tidak mengenal kami, dan aku belum menemukan saudara kembarku. Sementara aku kesulitan menangkapnya, ia terus saja melompat dan kini mulai berlompatan keluar jendela.
            “NO, COME BACK HERE!” perintahku. Namun sosok itu terus melompat menjauh. Akupun mengejarnya, melompat keluar melalui jendela kamar. Tak peduli denyutan perih dan nyeri disekujur tubuhku, pun dengan matahari yang hampir tenggelam. Terus kukejar sosok berlompatan itu sampai ketengah hutan. Saat sosoknya benar-benar menghilang, barulah aku tersadar bahwa aku tersesat. “Sial!”  geramku kesal.


Aku panik. Berlari ke arah cahaya yang masih tersisa. Nafasku mulai terengah. Semakin larut maka udara akan semakin dingin. Kugosok-gosokan kedua telapak tanganku yang telanjang, begitu pula dengan kaki-kakiku yang tak beralas. Bersandar pada pohon besar didekatku. Aku tak boleh pingsan lagi.
            Di sela kepanikanku. Sayup-sayup kudengar suara teriakan seseorang memanggil-manggil namaku. Kupertajam pendengaranku, dan suara itu semakin mendekat. ‘Aku pasti salah dengar. Tak seorangpun mengenaliku, disini’. Kutapaki jalan setapak didekatku, mencoba mengikuti arah suara itu. Suara itu terus saja memanggilku, kuatur nafasku untuk menahan perih yang semakin menusuk. Berjalan terseok-seok karena luka di kedua kakiku.        
           Tak lama kemudian, suara itu hilang, berganti dengan sesosok lelaki muda berambut cokelat keemasan beberapa meter dariku. Ia berlari kearahku, lalu berhenti tepat di hadapanku. Nafasnya terengah, mukanya merah padam, matanya merah dan berair. Kami saling tatap.
            “WHAT DO YOU THINK YOU’RE DOING? Kenapa pergi tanpa permisi?!” Teriaknya kehilangan kendali. Aku tertegun, ia bisa berbahasa Indonesia.
            “Kamu kira saya akan membiarkan keluarga saya pergi, lagi? Apa kamu tahu seberapa paniknya saya?! Dengar baik-baik. Beberapa jam yang lalu detektif baru saja memberitakan hal aneh bahwa para mafia Perancis telah bertingkah aneh! Mereka semua terkena amnesia, semua data dan foto tentang kita hilang begitu saja tanpa sisa. Kamu tahu apa yang saya pikirkan saat itu? Saya beranggapan bahwa keinginan saya telah dikabulkan oleh sesosok Leprechaun yang mendengar harapan saya tanpa harus menangkapnya!” Ia terengah, bahunyaturun-naik dengan cepat.
“Lalu diperjalanan kembali ke rumah, saya temukan kamu tergeletak ditengah hutan! Saya temukan foto kita dan sadar bahwa kamulah orang yang saya cari sejak dulu! Orang yang fotonya ingin saya sandingkan dengan foto saya, orang yang saya titipkan sepotong buku dongeng Leprechaun dengan harapan potongan itu akan membawamu kesini. Kamu tahu betapa bahagianya saya saat itu? Saya bawa kamu ke rumah dan merawatmu, meminta Albert untuk menjagamu sampai saya kembali, but suppose what? YOU’RE GONE! What are you doing here?” Jeritnya, memegangi pundakku.
            “Mengejar Leprechaun, menyelesaikan masalah dengan mafia Perancis dan menemukan saudara kembarku, William.” Jawabku polos.
            “I AM WILLIAM! Sayalah orang yang kamu cari! Tidak perlu mengejar Leprechaun lagi! Berhenti melukai dirimu sendiri! Saya tidak ingin kehilanganmu juga, Kysa!” Jeritnya geram. Ada dua anak sungai yang mengalir di pipiku akibat campuran rasa kaget, bingung, dan senang yang bercampur aduk. Iapun mendekapku ke dalam pelukannya. “Welcome home, sister” bisiknya ditelingaku. Air mataku bertambah deras.
            Tak jauh dari sana, sesosok Leprechun berlompatan riang sambil mengatakan “I took you here for an extraordinary ending! And this is an extraordinary one, I like it!” serunya sambil tertawa dengan seringaian persis seperti milik kakek tua yang kutemui sehari sebelumnya. Aku tertegun. Ia pun mengedipkan sebelah matanya, kemudian menghilang dengan bunyi ‘POP!’.   
         Selesai
  15/06/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar