Kitties

Kitties

Kamis, 14 Februari 2013

LAKI



LAKI
Oleh Shafia Asy-Syifa
Alkisah, di sebuah desa, di pelosok Jawa Barat, hiduplah seorang petani paruh baya bersama seorang isteri dan seorang anak laki-lakinya yang bernama Laki. Butuh waktu sepuluh tahun, sampai akhirnya pasangan suami-isteri itu dikaruniai seorang anak. Ketika Laki beranjak remaja, Ia merasa penasaran akan asal-usul namanya. Maka, ia pun bertanya pada kedua orang tuanya, pada waktu makan malam tiba.
“Pak, kunaon atuh saya diberi nama Laki? memangna apa artina?” tanyanya dengan mulut penuh nasi dan pete, menu favoritnya yang tak boleh absen di tiap jam makannya.
Kedua orang tuanya menoleh keheranan.
“Tumben kamu tanya begitu, kunaon? ada yang nanya?” tanya bapaknya.
“He-eh. Guru abdi tadi teh nanya, apa arti nami abdi? Kunaon nami abdi teh cuma Laki saja, teu pakai embel-embel lain?”
Bapak dan ibunya pun tersipu malu mendengar pertanyaan anak semata wayang mereka itu. Kedua alis Laki terpaut, bingung melihat tingkah kedua orang tuanya.
Eleuh-eleuh..  malah pada senyum-senyum sendiri. Ada yang aneh kitu?”
Enteu, Ki.. Kami cuma teringat jaman muda dulu. Nama kamu teh, aya sejarahnya. Ceritanya teh, waktu ibu sama bapak bulan madu ka Situ Lengkong, ada orang bule nemu duit seratus ribu. Si bule, langsung mungut duitna sambil teriak, ’Laki!’, cenah.
“Nah, kata orang sih.. Laki itu artina ‘beruntung’. Sejak saat itu, bapak sama ibu janji, kalau nanti punya anak, akan kami beri nama Laki. Teu peduli dia lelaki atau perempuan.” Jelas bapaknya. Sedangkan ibunya yang pemalu, hanya tersipu-sipu. Laki pun membayangkan, jika ia terlahir sebagai seorang anak perempuan sedangkan ibu-bapaknya menamaninya Laki. Mungkin ia akan disangka sebagai seseorang yang melakukan trans gender.     
“Ih bapak.. itu mah LUCKY bukan LAKI! Salah atuh ejaannya.” Bantah Laki.
“Masa bodo! Yang penting teh maknanya! Pokoknya nih, Jang, bapak sama ibu yakin, suatu saat nanti kamu akan jadi orang yang beruntung!” Seru bapaknya dengan kedua tangan terkepal di udara, layaknya seorang deklamator puisi.
*****
Keesokkan harinya.
            Siang terik itu, Laki berjalan pulang sendiri dari sekolah. Ia berjalan menyusuri pepohonan dan semak-semak disepanjang jalan menuju rumahnya. Konon keluarga kecil itu tinggal di sebuah gubuk kecil, di sebuah gunung yang cukup jauh dari jalan raya. Di tengah-tengah perjalanan pulang, pandangannya teralih pada selembar kertas berwarna biru yang tergeletak di tanah.
“Apaan tuh?”
Ia pun memungut lembaran itu, yang ternyata adalah selembar uang lima puluh ribuan rupiah.
“Siapa nih, yang ninggalin duit di tengah gunung? Punteun! Duit saha eta? Halo!” Serunya. Siapa tau pemiliknya masih ada di sekitar sana. Tapi, berapa kali pun ia berteriak, tak ada seorangpun yang menjawabnya.
“Jangan-jangan, benar yang dibilang bapak. Nama saya membawa keberuntungan.” Maka ia berlari sekencang mungkin menuju rumah, sambil memanggil-manggil bapaknya.
“Bapak! Bapak! Bapak! Bapak benar, pak! Nama saya membawa keberuntungan! Liat nih pak! Laki nemu duit di jalan!” Lapornya dengan nafas tersegal-segal.
“Apa, jang? Pluit? Pluit apa?” sahut bapaknya dari atas pohon cengkih.
“Bukan pluit pak! Duit!” jawabnya sambil memperlihatkan hasil temuannya. Bapaknya pun turun dan segera merangkulnya.
“Apa kata bapak, jang. Nama pemberian kami, pasti membuat kamu menjadi orang yang beruntung! Hayu kita pulang. Perut bapak sudah keroncongan. Bantuain bapak bawa bakulnya ya!” Pinta bapaknya sambil menyodorkan sebakul cengkih, hasil panennya.
“Siap, bos!”
            Maka mereka berjalan beriringan menuju rumah mungil yang mereka tinggali. Sesampainya di sana, mereka disambut oleh wajah bingung ibunya.
Kunaon, bu?” Tanya bapaknya.
Ari bapak liat duit yang bapak kasih ke saya teu? Tadi pagi, ibu taro di bawah bantal buat belanja sembako, tapi kok nggak ada ya?”
“Yang seratus ribuan bu?”
Ibunya mengangguk. “Makanya ibu, tidak bisa masak nasi. Makan pakai singkong sama ikan lele saja ya?”
“Ya sudahlah.. teu nanaon. Apa juga enak kalo lagi laper.” Sahut Pak Tani.
“Tapi pete mah aya kan, bu?” Tanya Laki. Kuatir makanan wajibnya juga harus absen juga.
Aya, aya. Itu mah masih banyak, kalau habis juga tinggal metik di pohon.” Jawab ibunya.
            Akhirnya, merekapun terpaksa makan menu ‘barat’ itu. Ya, kalau orang barat biasa makan lauk dengan kentang atau roti, keluarga petani ini pun terpaksa harus menyantap menu ‘barat’ alias menu Jawa Barat yang tak biasa tersebut. 
            Dua hari kemudian, sepulang Laki bermain bola di lapangan desa sebelah bersama teman-temannya, kakinya tersandung sesuatu dan tersungkur jatuh. Ia kemudian mencari-cari benda yang membuatnya terjatuh.
“Subhanallah. Siapa ya yang naro tas di tengah jalan begini?” tanyanya, sambil memungut sebuah tas kecil yang tersangkut pada sebuah akar pohon. Ia buka tas mungil itu dan menemukan sebuah ponsel dan charger di dalamnya. Ponsel itu masih bagus dan berfungsi dengan baik. Ia pun celingukkan, mencari orang yang mungkin akan kembali mencari tas yang berisi ponsel tersebut.
            Lima belas menit berlalu. Laki pun memutuskan untuk membawa pulang tas itu. Mungkin Allah memang berniat memberikan tas berserta isinya itu padanya.
“Laki memang lucky! Beruntung!” pekiknya sambil berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, Laki memperlihatkan barang temuan keduanya itu pada orang tuanya. “Walah-walah.. jang. Ini mah hape bagus! Kalau kita jual, satu juta mah dapet!” Seru bapaknya sambil melihat-lihat fitur di ponsel tersebut.
“Ya sudah, mandi sana! Keburu magrib.” Perintah ibunya.
“Siap, bos!”
            Keesokkan harinya, rumah mungil itu digemparkan dengan hilangnya kalung emas seberat lima belas gram, simpanan kedua orang tuanya.
“Kamu taro di mana bu?” Tanya bapaknya.
“Ya di lemari, pak. Seperti biasa. Cuma tadi ibu lupa ngunci lemarinya!” Jawab ibunya sambil mulai sesengukkan.
“Apa mungkin gara-gara Laki nemu hape ya pak?” Tanya ibunya disela-sela tangisnya.
Teu mungkin ah bu. Itu mah cuma kebetulan saja. Coba dicari lagi. Mungkin jatuh atau keselip di suatu tempat.” Namun, satu minggu berselang, dan kalung itu tak pernah bisa ditemukan.
*****
            Keesokkan harinya, sepulang Laki mengaji dan shalat Isya’ di mushola, ia temukan sebuah kotak berwarna hitam. Kotak itu berisi dua buah gelang emas yang tebal dan cukup berat. Tanpa pikir panjang lagi, ia bawa pulang kotak tersebut dan memberikannya pada ibunya.
“Ibu, ini Laki nemu gelang emas di jalan. Mungkin bu, Allah ngasih gelang ini ke kita sebagai ganti kalung emas ibu yang hilang!” seru Laki kegirangan.
“Kamu yakin, Ki? Memangnya tidak ada yang cari gelang ini?”
Teu aya, bu.”
“Ya sudah, besok kita bawa ke toko emas buat ngecek apa ni emas asli atau bukan.” Sahut bapaknya sambil mengaduk kopi hitam di hadapannya.
            Pagi hari menjelang. Belum sempat mereka mengumpulkan seluruh nyawa untuk menyambut hari baru, satu musibah lainnya datang.  Gudang penyimpanan hasil panen mereka dibobol pencuri. Cengkih kering yang telah mereka bungkus dalam dua puluh karung seberat lima puluh kilogram, ludes.
“Ya Allah.. Ki! Hasil panen kita! Nilainya ratusan juta, hilang diambil orang! Astagfirullahal’adziim!” Seru bapaknya duduk berlutut dengan lesu. Ibunya hanya bisa menangis. Sedangkan Laki, dengan wajah polosnya, berkata, “Tos atuh pak.. bu.. kan yang di pohon masih ada..”
“Pohon yang mana yang kamu maksud?” Tanya bapaknya.
Eta tina kebon sebelah. Banyak yang belum dipanen.”
Eta mah pohon orang atuh, Ki! Masa’ punya orang mau kita ambil!”
Laki hanya bisa menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Iya juga yah!”
“Laki.. Laki! Kamu tuh polos apa bodoh sih?!” geram bapaknya.
“Tuh kan, pak. Benar kata ibu, setiap Si Laki nemu sesuatu, pasti kita kehilangan sesuatu juga! Bahkan nilainya berkali-kali lipat lebih banyak dari nilai benda yang dia temukan!”         
“Tapi bu! Laki teu merasa sial setelah nemuin barang!” bela Laki.
“Iya, kamu sih untung, kami yang buntung! Sudahlah! Pokoknya sejak saat ini nama kamu bapak ganti Ridho, saja!”
Kunaon atuh, pak. Nama saya harus diganti Ridho? Kenapa tidak Michael Jackson aja, biar keren sekalian?!”
“Ini bukan soal keren atau tidak, Ki. Namamu diganti Ridho supaya kalo lain kali kamu nemu barang, Allah tuh ridho! Jadi tidak ada lagi barang yang hilang setelah kamu menemukan sesuatu!”
Maksudna, pak??” tanya Laki dengan wajah polos. Ibu dan bapaknya hanya bisa geleng-geleng kepala, malas menjelaskan lebih lanjut lagi.
SELESAI
Glossarium:
·         kunaon atuh: ada apa sih 
·         memangna apa artina: memangnya apa artinya
·         abdi: saya
·         nami: nama
·         teu/enteu: tidak
·         kitu: gitu/begitu
·         aya: ada
·         ka: ke
·         duitna: uangnya
·         cenah: katanya
·         Jang (Ujang): panggilan untuk seorang anak/pemuda laki-laki di Jawa Barat.
·         Punteun! Duit saha eta?  Permisi, ini uang siapa?
·         Hayu: Ayo
·         Ari: Kalau
·         teu nanaon: tidak apa-apa
·         Teu aya: Tidak ada
·         Tos atuh pak: Sudah ya pak
·         Eta: ini/itu
·         tina: di
  

  
     

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar