LAKI
Oleh Shafia Asy-Syifa
Alkisah, di
sebuah desa, di pelosok Jawa Barat, hiduplah seorang petani paruh baya bersama
seorang isteri dan seorang anak laki-lakinya yang bernama Laki. Butuh waktu
sepuluh tahun, sampai akhirnya pasangan suami-isteri itu dikaruniai seorang
anak. Ketika Laki beranjak remaja, Ia merasa penasaran akan asal-usul namanya.
Maka, ia pun bertanya pada kedua orang tuanya, pada waktu makan malam tiba.
“Pak, kunaon atuh saya diberi nama Laki? memangna apa artina?”
tanyanya dengan mulut penuh nasi dan pete, menu favoritnya yang tak boleh absen
di tiap jam makannya.
Kedua orang tuanya menoleh
keheranan.
“Tumben kamu tanya begitu, kunaon? ada yang nanya?” tanya bapaknya.
“He-eh. Guru abdi tadi teh nanya, apa
arti nami abdi? Kunaon nami abdi teh cuma Laki saja, teu pakai embel-embel lain?”
Bapak dan ibunya pun tersipu malu
mendengar pertanyaan anak semata wayang mereka itu. Kedua alis Laki terpaut,
bingung melihat tingkah kedua orang tuanya.
“Eleuh-eleuh.. malah pada
senyum-senyum sendiri. Ada yang aneh kitu?”
“Enteu, Ki.. Kami cuma teringat jaman muda dulu. Nama kamu teh, aya
sejarahnya. Ceritanya teh, waktu ibu
sama bapak bulan madu ka Situ
Lengkong, ada orang bule nemu duit seratus ribu. Si bule, langsung mungut duitna sambil teriak, ’Laki!’, cenah.
“Nah, kata orang
sih.. Laki itu artina ‘beruntung’.
Sejak saat itu, bapak sama ibu janji, kalau nanti punya anak, akan kami beri
nama Laki. Teu peduli dia lelaki atau
perempuan.” Jelas bapaknya. Sedangkan ibunya yang pemalu, hanya tersipu-sipu.
Laki pun membayangkan, jika ia terlahir sebagai seorang anak perempuan
sedangkan ibu-bapaknya menamaninya Laki. Mungkin ia akan disangka sebagai
seseorang yang melakukan trans gender.
“Ih bapak.. itu mah LUCKY bukan
LAKI! Salah atuh ejaannya.” Bantah
Laki.
“Masa
bodo! Yang penting teh maknanya! Pokoknya nih, Jang, bapak sama ibu yakin, suatu saat
nanti kamu akan jadi orang yang beruntung!” Seru bapaknya dengan kedua tangan
terkepal di udara, layaknya seorang deklamator puisi.
*****
Keesokkan
harinya.
Siang terik itu, Laki berjalan
pulang sendiri dari sekolah. Ia berjalan menyusuri pepohonan dan semak-semak
disepanjang jalan menuju rumahnya. Konon keluarga kecil itu tinggal di sebuah
gubuk kecil, di sebuah gunung yang cukup jauh dari jalan raya. Di tengah-tengah
perjalanan pulang, pandangannya teralih pada selembar kertas berwarna biru yang
tergeletak di tanah.
“Apaan
tuh?”
Ia
pun memungut lembaran itu, yang ternyata adalah selembar uang lima puluh ribuan
rupiah.
“Siapa
nih, yang ninggalin duit di tengah gunung? Punteun!
Duit saha eta? Halo!” Serunya. Siapa
tau pemiliknya masih ada di sekitar sana. Tapi, berapa kali pun ia berteriak,
tak ada seorangpun yang menjawabnya.
“Jangan-jangan,
benar yang dibilang bapak. Nama saya membawa keberuntungan.” Maka ia berlari
sekencang mungkin menuju rumah, sambil memanggil-manggil bapaknya.
“Bapak!
Bapak! Bapak! Bapak benar, pak! Nama saya membawa keberuntungan! Liat nih pak!
Laki nemu duit di jalan!” Lapornya dengan nafas tersegal-segal.
“Apa,
jang? Pluit? Pluit apa?” sahut
bapaknya dari atas pohon cengkih.
“Bukan
pluit pak! Duit!” jawabnya sambil memperlihatkan hasil temuannya. Bapaknya pun
turun dan segera merangkulnya.
“Apa
kata bapak, jang. Nama pemberian kami,
pasti membuat kamu menjadi orang yang beruntung! Hayu kita pulang. Perut bapak sudah keroncongan. Bantuain bapak
bawa bakulnya ya!” Pinta bapaknya sambil menyodorkan sebakul cengkih, hasil
panennya.
“Siap,
bos!”
Maka mereka berjalan beriringan
menuju rumah mungil yang mereka tinggali. Sesampainya di sana, mereka disambut
oleh wajah bingung ibunya.
“Kunaon, bu?” Tanya bapaknya.
“Ari bapak liat duit yang bapak kasih ke
saya teu? Tadi pagi, ibu taro di
bawah bantal buat belanja sembako, tapi kok nggak ada ya?”
“Yang
seratus ribuan bu?”
Ibunya
mengangguk. “Makanya ibu, tidak bisa masak nasi. Makan pakai singkong sama ikan
lele saja ya?”
“Ya
sudahlah.. teu nanaon. Apa juga enak
kalo lagi laper.” Sahut Pak Tani.
“Tapi
pete mah aya kan, bu?” Tanya Laki.
Kuatir makanan wajibnya juga harus absen juga.
“Aya, aya. Itu mah masih banyak, kalau
habis juga tinggal metik di pohon.” Jawab ibunya.
Akhirnya, merekapun terpaksa makan
menu ‘barat’ itu. Ya, kalau orang barat biasa makan lauk dengan kentang atau
roti, keluarga petani ini pun terpaksa harus menyantap menu ‘barat’ alias menu
Jawa Barat yang tak biasa tersebut.
Dua hari kemudian, sepulang Laki
bermain bola di lapangan desa sebelah bersama teman-temannya, kakinya
tersandung sesuatu dan tersungkur jatuh. Ia kemudian mencari-cari benda yang
membuatnya terjatuh.
“Subhanallah.
Siapa ya yang naro tas di tengah jalan begini?” tanyanya, sambil memungut
sebuah tas kecil yang tersangkut pada sebuah akar pohon. Ia buka tas mungil itu
dan menemukan sebuah ponsel dan charger
di dalamnya. Ponsel itu masih bagus dan berfungsi dengan baik. Ia pun
celingukkan, mencari orang yang mungkin akan kembali mencari tas yang berisi ponsel
tersebut.
Lima belas menit berlalu. Laki pun
memutuskan untuk membawa pulang tas itu. Mungkin Allah memang berniat
memberikan tas berserta isinya itu padanya.
“Laki
memang lucky! Beruntung!” pekiknya sambil berjalan pulang.
Sesampainya
di rumah, Laki memperlihatkan barang temuan keduanya itu pada orang tuanya.
“Walah-walah.. jang. Ini mah hape
bagus! Kalau kita jual, satu juta mah dapet!” Seru bapaknya sambil
melihat-lihat fitur di ponsel tersebut.
“Ya
sudah, mandi sana! Keburu magrib.” Perintah ibunya.
“Siap,
bos!”
Keesokkan harinya, rumah mungil itu
digemparkan dengan hilangnya kalung emas seberat lima belas gram, simpanan
kedua orang tuanya.
“Kamu
taro di mana bu?” Tanya bapaknya.
“Ya
di lemari, pak. Seperti biasa. Cuma tadi ibu lupa ngunci lemarinya!” Jawab
ibunya sambil mulai sesengukkan.
“Apa
mungkin gara-gara Laki nemu hape ya pak?” Tanya ibunya disela-sela tangisnya.
“Teu mungkin ah bu. Itu mah cuma
kebetulan saja. Coba dicari lagi. Mungkin jatuh atau keselip di suatu tempat.”
Namun, satu minggu berselang, dan kalung itu tak pernah bisa ditemukan.
*****
Keesokkan harinya, sepulang Laki
mengaji dan shalat Isya’ di mushola, ia temukan sebuah kotak berwarna hitam.
Kotak itu berisi dua buah gelang emas yang tebal dan cukup berat. Tanpa pikir
panjang lagi, ia bawa pulang kotak tersebut dan memberikannya pada ibunya.
“Ibu,
ini Laki nemu gelang emas di jalan. Mungkin bu, Allah ngasih gelang ini ke kita
sebagai ganti kalung emas ibu yang hilang!” seru Laki kegirangan.
“Kamu
yakin, Ki? Memangnya tidak ada yang cari gelang ini?”
“Teu aya, bu.”
“Ya
sudah, besok kita bawa ke toko emas buat ngecek apa ni emas asli atau bukan.” Sahut
bapaknya sambil mengaduk kopi hitam di hadapannya.
Pagi hari menjelang. Belum sempat
mereka mengumpulkan seluruh nyawa untuk menyambut hari baru, satu musibah
lainnya datang. Gudang penyimpanan hasil
panen mereka dibobol pencuri. Cengkih kering yang telah mereka bungkus dalam
dua puluh karung seberat lima puluh kilogram, ludes.
“Ya
Allah.. Ki! Hasil panen kita! Nilainya ratusan juta, hilang diambil orang!
Astagfirullahal’adziim!” Seru bapaknya duduk berlutut dengan lesu. Ibunya hanya
bisa menangis. Sedangkan Laki, dengan wajah polosnya, berkata, “Tos atuh pak.. bu.. kan yang di pohon
masih ada..”
“Pohon
yang mana yang kamu maksud?” Tanya bapaknya.
“Eta tina kebon sebelah. Banyak yang
belum dipanen.”
“Eta mah pohon orang atuh, Ki! Masa’ punya orang mau kita ambil!”
Laki
hanya bisa menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Iya juga yah!”
“Laki..
Laki! Kamu tuh polos apa bodoh sih?!” geram bapaknya.
“Tuh
kan, pak. Benar kata ibu, setiap Si Laki nemu sesuatu, pasti kita kehilangan
sesuatu juga! Bahkan nilainya berkali-kali lipat lebih banyak dari nilai benda
yang dia temukan!”
“Tapi
bu! Laki teu merasa sial setelah
nemuin barang!” bela Laki.
“Iya,
kamu sih untung, kami yang buntung! Sudahlah! Pokoknya sejak saat ini nama kamu
bapak ganti Ridho, saja!”
“Kunaon atuh, pak. Nama saya harus
diganti Ridho? Kenapa tidak Michael Jackson aja, biar keren sekalian?!”
“Ini
bukan soal keren atau tidak, Ki. Namamu diganti Ridho supaya kalo lain kali
kamu nemu barang, Allah tuh ridho! Jadi tidak ada lagi barang yang hilang
setelah kamu menemukan sesuatu!”
“Maksudna, pak??” tanya Laki dengan wajah
polos. Ibu dan bapaknya hanya bisa geleng-geleng kepala, malas menjelaskan
lebih lanjut lagi.
SELESAI
Glossarium:
·
kunaon
atuh: ada apa sih
·
memangna
apa artina: memangnya apa artinya
·
abdi: saya
·
nami: nama
·
teu/enteu:
tidak
·
kitu: gitu/begitu
·
aya: ada
·
ka: ke
·
duitna: uangnya
·
cenah: katanya
·
Jang
(Ujang): panggilan untuk seorang anak/pemuda laki-laki di Jawa Barat.
·
Punteun!
Duit saha eta? Permisi, ini uang siapa?
·
Hayu: Ayo
·
Ari: Kalau
·
teu
nanaon: tidak apa-apa
·
Teu aya: Tidak
ada
·
Tos atuh
pak: Sudah ya pak
·
Eta: ini/itu
·
tina: di