Oleh: Shafia Asy Syifa
Di pagi hari yang cerah, hembusan angin yang menerpa wajahku, jadikan ia
semakin membeku disejuknya angin musim semi. Ada perasaan membeku yang tak juga
mencair di benakku saat ini. Kemungkinan-kemungkinan yang muncul bak slide-slide
acak membuat tatapanku kosong tanpa nyawa. Segala sesuatu terjadi begitu cepat,
begitu mengagetkan dan sangat membingungkan.
Kuambil lagi sepotong buku dongeng lama
tentang sesosok makhluk fantasi asal Irlandia, serta foto tua, bertuliskan
alamat yang sudah tak bertuan dari saku jaketku dan menatapnya lekat-lekat.
Buku dongeng itu adalah buku favoritku ketika aku kecil, namun, ketika usiaku
bertambah, buku dongeng itu hanyalah bagian dari indahnya fantasi kanak-kanak
yang mustahil terjadi. Sampai saat ini, ada satu pertanyaan yang belum juga
terjawab, mengapa buku dongeng itu terpotong? potongan yang kumiliki sejak aku
kecil hanyalah buku bagian depan dan beberapa kisahnya. Kupejamkan mata
rapat-rapat, mencoba mengingat alasan mengapa aku berdiri bak orang bodoh
disini, di sisi jalan daerah Dublin, Irlandia.
Ï
Siang kemarin, merupakan siang terpanas yang pernah kurasakan di Jakarta.
Akupun berlari masuk ke rumah tanpa mengetuk pintu. Dahaga yang menyengat di
tenggorokanku memaksaku bertindak diluar kebiasaan. Segera kusambar saja gelas
kosong diatas meja makan dan mengisinya dengan air dingin lalu menenggaknya
habis.
“Kysa! Kapan kamu sampai? Kenapa tidak
ketuk pintu sebelum masuk? Mengagetkan ayah saja!” Seru ayah sambil menarik
kopor besar dari kamarku. Ia terengah, tubuhnya bergetar halus.
“Maaf ayah, tadi Kysa buru-buru, itu,
untuk apa?” Tanyaku seraya melempar pandang ke arak kopor besar disampingnya.
Ia menghela nafas.
“Masuklah, ada hal penting yang harus
kita bicarakan.” Perintahnya sambil berjalan memasuki kamarku.
“Ada yang perlu kamu ketahui sebelum
keberangkatanmu. Ayah harap kamu dapat mengerti. Jangan memotong, jangan
bertanya, dengarkan saja baik-baik penjelasan ayah, waktu kita sempit.”
Ia ulurkan sebuah potongan buku dongeng lama berjudul Tales of Leprechaun kepadaku. Sebuah buku dongeng anak yang
mengisahkan sejenis makhluk fantasi asal Irlandia. Sewaktu aku kecil, ibu
seringkali membacakannya berulang-ulang untukku. Lalu ia serahkan selembar foto
tua. Foto orangtua berambut cokelat keemasan dan sepasang anak kembarnya dengan
warna rambut yang sama. Satu bayi lelaki, dan satu bayi perempuan. Aku
mengernyit, bingung.
“Mereka adalah orangtua kandungmu. Itulah
sebabnya kamu memiliki warna rambut yang tidak sama dengan kebanyakan orang
Indonesia. Kami, ayah dan ibu yang kau kenal, hanyalah orang suruhan
orangtuamu. Ibumu melahirkan kalian di Indonesia, saat dinas. Mereka terpaksa
menitipkanmu pada kami karena kesehatanmu dulu tidak memungkinkan untuk
bepergian jauh.” Ia hela nafasnya perlahan, menatapku dengan miris.
“Namun, saat mereka hendak menjemputmu,
sekawanan mafia Perancis yang menaruh dendam pada ayahmu, membunuh mereka.
Jangan pernah berpikir bahwa orangtuamu terlibat dengan kelompok mafia itu,
atau kelompok kriminal lainnya. Ayahmu hanyalah seorang saksi kunci yang tidak
sengaja menyaksikan aksi mereka. Kesaksian ayahmu di pengadilan akhirnya
menjebloskan kawanan itu ke penjara. Sejak saat itu mereka bersumpah untuk
menghabisi keluarga kecil ayahmu, termasuk kamu, Kysa, dan saudara kembarmu,
sekeluarnya mereka dari penjara. Mereka tahu kalian masih hidup, tapi mereka
belum berhasil melacak keberadaan kalian. Setidaknya itulah kemungkinannya, karena
kalian masih dibiarkan hidup sampai sekarang.
“Saat ini, mafia Perancis itu ada di
Jakarta. Kami juga tidak tahu apa maksud kedatangan mereka. Namun bila mereka
tahu kau ada disini, mereka akan memburu dan membunuhmu juga. Kami begitu
khawatir. Sudah tidak aman lagi bagimu untuk tinggal disini. Semua harta
peninggalan orangtuamu telah kami uangkan dan kami masukkan ke rekeningmu. Kami
juga sudah pesankan tiket pesawat yang mengarah ke Irlandia sore ini. Maaf,
kami hanya memiliki alamat terakhir yang diberikan orangtuamu. Namun telah kami
tulis semua yang kami tahu dibalik foto itu. Jangan khawatir, saudara kembarmu
mengetahui keberadaanmu. Walaupun kalian belum pernah bertemu, ayah yakin
kalian akan saling mengenal.” Jelasnya panjang lebar, terburu-buru.
Penjelasan itu membuatku kaget bukan kepalang.
Kekagetan itu membungkam mulutku rapat-rapat. Lidahku kelu. Ayah menatapku
nanar. Dengan gemetar hebat di sekujur tubuhnya, ia memelukku erat dan
berbisik.
“Selamat jalan, nak. Semoga keajaiban negeri
dongeng itu membawamu menemukan keluargamu.”
Ï
Hembusan angin dingin membelai rambut dan wajahku, memaksaku membuka mata. ‘Ini
bukan mimpi’ batinku. Masih terngiang kalimat terakhir ayah tentang keajaiban
negeri dongeng ini. Kubuka lagi halaman demi halaman potongan buku dongeng itu.
Memandangi gambar makhluk mungil berjenggot yang dipercaya memiliki kemampuan
untuk mengabulkan permohonan siapapun yang berhasil menangkapnya.
Kupandangi lagi gambar Leprechaun di buku itu. Hhh.. Seandainya saja aku bisa
menangkap salah satu dari mereka, tak akan kubebani ia dengan tiga permintaan.
Aku hanya akan meminta dua permintaan padanya. Menuntaskan permasalahan
keluargaku dengan para mafia Perancis itu dan menemukan saudara kembarku.
Tapi dimana aku bisa menemukannya? Dataran Irlandia begitu luas. Lagi pula, aku
tidak tahu harus berkomunikasi dengan bahasa apa jika bertemu dengannya kelak.
Sedetik kemudian, aku terkesiap, lalu menertawai intuisi konyolku itu.
'menangkap Leprechaun, si makhluk dongeng di Irlandia yang luas', kedengaran
jauh lebih konyol dibandingkan ide 'menangkap Nyai Roro Kidul di pantai selatan
pulau Jawa'. Saking gelinya aku tertawa, seorang lelaki tua menanyaiku.
"Are you all right, young lady?”
Kujawab bahwa aku baik-baik saja lalu kejelaskan mengapa aku tertawa sendiri.
Lelaki tua itu hanya tersenyum, dan berkata,
"Well, you can start to find it
in the early morning on Jekinstown wood on southern of Dublin. If you can't
find it, at least you won't be so disappointed. It's middle of April, a carpet
of bluebells spread along it." Ujarnya, sambil tersenyum dengan
seringaian tak lazim.
Belum sempat kuucapkan terimakasih, sosok
itu telah menghilang entah kemana. Bulu kudukku meremang. Namun, semisterius
apapun lelaki tua itu, tak ada alasan bagiku untuk tidak mencoba sarannya.
Ï
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali di
bagian selatan daerah Dublin, kutemukan diriku tertegun takjub akan maha karya
Tuhan yang ada di sekelilingku. Sejauh mata memandang yang dapat kulihat
hanyalah gradasi warna putih, hijau, cokelat, serta biru keunguan, udara
segarnyapun seakan menusuk indera penciumanku. Hijaunya rerindangan
dedaunan bermeter-meter diatasku, yang disangga oleh batang-batang pohon yang
kokoh berwarna cokelat, dihiasi dengan milyaran bunga lonceng biru keunguan.
Karena luasnya hamparan bunga tersebut, kabut pagi yang biasa berwarna putih,
kini bercampur dengan warna biru keunguan. Sungguh pemandangan yang luarbiasa
indah memesona. Mungkin seperti inilah dunia para peri negeri dongeng yang
digambarkan banyak orang, dan sekarang aku sedang berdiri terkagum-kagum
menatapnya. Tempat ini mengingatkan akau pada mimpi masa lalu yang tak berhasil
kuingat sepenuhnya.
Rindangnya pepohonan, serta rapatnya hamparan bunga lonceng biru seakan
memanggilku, mengundangku untuk bersandar di salah satu batangnya. Kubuka
kembali potongan buku ‘Tales of Leprechaun’ dipangkuanku. Kurentangkan buku
dongeng itu dihadapan wajahku, kupandangi lekat-lekat gambar Leprechaun di
lembaran buku itu, berharap dapat mentransformasi gambar itu menjadi nyata.
Hembusan angin dan gemeresak kecil dedaunan seakan berirama, membuaiku bak lagu
penghantar tidur terindah yang pernah kudengar. Sulit bagiku untuk membedakan,
masihkah aku terjaga, atau tengah terlelap.
Tak lama kemudian, bunyi pukulan palu dan gemeresak tanaman bunga lonceng biru
terdengar halus, mengagetkanku. Kusapu pandanganku berkeliling, mencari sumber
datangnya suara tersebut. Dan di sana, di antara rerimbunan tanaman bunga
lonceng biru, kulihat siluet kecil berwarna hijau. Kudekati objek itu perlahan,
mencoba untuk tidak membuat suara yang akan mengusir siluet kecil itu. Ketika
cukup dekat bagiku untuk melihat dengan jelas, saat itu pula aku terperanjat
dan hampir terjerembab mencium bumi. Namun, untunglah, sosok belum juga
menyadari kehadiranku.
Di sana,
duduk sesosok makhluk kerdil berpakaian dan bertopi hijau serta menggunakan
ikat pinggang berwarna hitam, duduk memunggungiku dan melakukan sesuatu yang
tak dapat kulihat jelas. Sepertinya ia sedang memukulkan palu diatas sesuatu.
Tanganku bergetar hebat, detak jantungku
berpacu dengan sangat cepat. Itulah, itulah sosok yang sedang kucari, sesosok
Leprechaun yang dapat mengabulkan keinginanku. Namun sosok Leprechaun yang satu
ini agak berbeda dengan yang sering kulihat di buku-buku dongeng, Ia tidak tua
dan berjenggot. Wajahnya juga tidak menyeramkan. Bahkan wajah itu terlihat ceria
dan sangat ramah.
Kuberanikan diriku untuk lebih mendekat. Saat sudah cukup dekat bagiku untuk
meraihnya, kutelan liurku dua kali dan mendekapnya erat-erat. Tak lupa kulepas
topi dari kepalanya, karena yang ku tahu, topi itulah yang memungkinkan mereka
untuk berpindah tempat dalam satu kedipan mata. Ia meronta-ronta sampai sebuah
koin emas terjatuh dari sakunya. Segera kukatakan padanya bahwa aku butuh
bantuannya.
“Ah… you got me” ujarnya pasrah ketika sadar pelukanku padanya sangatlah
erat. Aku terkesiap, ia berbicara dengan bahasa Inggris standar, bukan bahasa
Anglo Saxon atau entah bahasa lain yang tak kumengerti.
“Okay. Please just give me my hat back and release me, I will make your
three wishes come true as the reward” lanjutnya.
“Please, I just want you to help me finishing my family's problem with the
French Mafia and I want to find my twin brother.” Jawabku sambil
meregangkan pelukanku. Dan memasang kembali topinya. Iapun mengangkat alisnya
dan tersenyum lebar.
“So, the little chick wants to make the foxes let it go? And let me suppose,
why do you wish to find your twin!” lalu ia meneruskannya dengan lelucon
konyol yang ia buat sendiri, yang kira-kira berarti: ‘karena semut dari lubang
yang sama akan selalu saling mencari untuk mengumpulkan makanan!’, ia terkekeh
geli. Padahal bagiku lelucon itu tidak lucu sama sekali. Akupun terdiam.
Pada akhirnya, ia berkata bahwa ia akan menghapus habis ingatan sekelompok
mafia Perancis itu tentang keluargaku. Sedangkan untuk menemukan saudara
kembarku, yang kubutuhkan hanyalah menyusuri jejaknya menuju utara. Lalu, ia
menghilang. Tiba-tiba saja pemandangan disekelilingku berubah, membawaku ke
sebuah tempat temaram, berantakan. Diasana, terdapat seseorang berpostur tinggi
dan berbadan kekar berdiri membelakangiku. Menembaki sebuah foto yang ditempel
di papan tembak. Foto itu sudah berlubang dan berasap dimana-mana, namun aku
masih bisa mengenali foto di papan tembak itu. Foto yang sama dengan foto tua
milikku. Hatiku mencelos, 'Si mafia Perancis', batinku.
Lalu, semua
terhenti, bak sebuah adegan film yang sedang dipause. Saat itu juga,
suara nyaring si Leprechaun terdengar di ruangan itu. "So the foxes are
gonna completely forget the little chick and her family from now on"
ujarnya, seperti membaca mantera. Perlahan, gambar di foto berlubang itu mulai
memudar, lalu menghilang sepenuhnya. Dan semua kembali bergerak lagi. Kulihat
si mafia memandang heran foto putih kosong berlubang di papan tembak itu dengan
pistol yang ia arahnya padanya. Iapun menjatuhkan pistolnya ke lantai
dengan suara yang cukup keras.
Aku terjaga.
Masih duduk bersandar di tempat yang sama. Aku mendengus kesal. ‘ternyata hanya
mimpi’ gerutuku dalam hati. Akupun memutuskan untuk bangkit dan mulai mencari
Leprechaun sungguhan. Namun saat aku berdiri, ada sebuah benda yang terjatuh
dari pangkuanku, benda itu berbentuk koin dan berpendar berwarna emas. Aku
terkejut bukan main, kupungut benda itu, dan coba tebak, itulah koin emas yang
tidak sengaja dijatuhkan si Leprechaun tadi. Namun ada keraguan terselip
dihatiku. Kutimbang-timbang koin emas di genggamanku. Jika memang benar aku
tidak bermimpi, apakah benar, para mafia Perancis itu sudah sepenuhnya
melupakan kami? Bagaimana cara memastikannya. Kembali keperhatikan koin emas
yang berpendar itu. ‘Biarlah waktu yang menjawabnya’ batinku pasrah. Tidak ada
salahnya bagiku untuk mencoba petunjuk si Leprechaun tadi. Segera kuambil
kompas dari dalam tas ransel besarku dan mulai berjalan menuju utara.
Kulepaskan harapan setinggi-tingginya ke langit musim semi Irlandia.
Beberapa meter setelah aku melangkah,
disana, di jalan setapak menuju utara, kulihat jejak-jejak kecil berpendar emas
yang tersamarkan oleh rimbunnya tanaman bunga lonceng biru. Aku yakin, jejak
itulah yang dimaksudkannya untuk kuikuti. Aku tersenyum senang melihatnya.
Akhirnya satu petunjuk lagi muncul di hadapanku. Maka kumasukkan kembali
kompasku dan mengeluarkan selembar foto tua dari saku jaketku. Ada hangat yang
menyeruak dihatiku dan menjalar keseluruh tubuhku saat menyusuri jalan setapak
itu sambil memandangi foto tua itu sesekali. Harapan untuk bertemu dengan
saudara kembarku membuncah di dada dan hatiku, membuat dadaku sesak olehnya.
Jantungku bertalu-talu seiring dengan irama nafasku yang menggebu, tak sabar
akan kemungkinan yang mungkin ada didepanku.
Kupercepat langkahku, setengah berlari.
Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru hutan untuk menemukan tanda-tanda
keberadaan orang lain di hutan ini. Namun belum ada seorangpun yang terlihat.
Asaku hampir pupus, saat melihat jejak-jejak kecil itu perlahan memudar dan
menghilang satu per satu.
“Oh tidak, tunggu, Jangan pergi dulu!”
Kucoba berlari sekencang mungkin,
mengejar jejak yang masih tersisa tanpa memperhatikan lagi arah yang kutuju.
Ketakutan mulai merayapi tubuhku, jejek-jejak itu semakin cepat menghilang.
Kutambah kecepatanku, tak peduli akan beban tas punggung yang semakin bertambah
saat staminaku mulai menurun. Semakin cepat jejak itu menghilang, semakin putus
asa aku dibuatnya. Aku terengah, hampir kehabisan nafas, pandanganku mulai
meredup, semakin redup, lalu semuanya tiba-tiba gelap. Tubuhku ambruk, masih
memegang erat foto tua serta kepingan koin emas itu.
Ï
Denyut perih di dahiku membawaku kembali
ke tempat yang dipenuhi oleh siluet cokelat dan hijau. Gelap yang menelanku
perlahan memudar. Kukerjapkan mata perlahan. ‘Dimana aku?’ batinku, bingung.
Tempatku berada saat ini merupakan ruangan yang tidak terlalu luas, namun ada
hal magis di ruangan ini yang membuatku merasa familiar dengan ruangan ini.
Seperti kembali ke masa lalu yang aku tak sadar pernah ada di dalamnya. Ruangan
ini berornamen kayu, berhiaskan gambar dan hiasan-hiasan Leprechaun berwarna
hijau. Semburat jingga kemerahan memasuki ruangan lewat jendela yang menghadap
langsung ke hutan yang dihiasi hamparan bunga lonceng biru dikejauhan. Kucoba
untuk bangkit dari pembaringan untuk dapat melihat lebih jelas. Denyut di
dahiku bertambah saat kuangkat kepalaku dari atas bantal. Kuraba dahiku dan
temukan perban yang menempel rapi diatasnya. Perban rapi juga menutupi
pergelangan tangan kananku. Saat kucoba berdiri pun, ada nyeri di kedua
lututku. ‘Apa yang terjadi? Mengapa banyak luka di sekujur tubuhku?’ Kupandangi
lagi hutan berlatar jingga kemerahan disana. “Ah, jejak Leprechaun itu! tidak,
aku tidak boleh kehilangan jejak itu, tidak seharusnya aku menyerah begitu
cepat”. Saat itu juga kuputuskan untuk kembali mencari jejak itu di hutan
Jekinstown sebelum mentari benar-benar tenggelam, tak peduli denyutan-denyutan
perih di sekujur tubuhku.
Namun perhatianku teralih. Ada pemandangan janggal di ruangan ini. Semua pigura
foto di ruangan ini setengah kosong. Separuh pigura-pigura itu terisi foto-foto
seorang lelaki muda berambut cokelat keemasan. Seakan sengaja disisakan untuk
separuh foto lainnya. Kusapu pandangan berkeliling, dan temukan pemandangan
ganjil lainnya. Di atas meja mungil di samping ranjang, tergeletak sebuah buku
kumpulan dongeng berwarna hijau tanpa cover. Judul yang tertera di halaman
pertama berbunyi ‘3 Leprechaun’s Promises’, dan halaman itu bernomor 23. Aku
terhentak, segera kurogoh saku jaketku dan melihat halaman terakhir potongan
buku dongengku. “Tidak mungkin! Ini semua pasti hanya kebetulan.” Sangkalku
saat melihat angka 22 di halamannya. Lantas, kusatukan kedua potongan buku itu,
dan keduanya menyatu dengan sempurna. Lututku bergetar halus dan melemah
seketika. Aku berlutut. “Tidak, hal ini belum membuktikan apapun. Belum”
Ketika itu, terdengar ketukan pintu, dan seorang pria paruh baya masuk dan
membungkuk. “Are you all right, Miss?” tanyanya seraya mendekati dan
memapaku kembali ke ranjang. Aku mengangguk, lalu bertanya dimana aku sekarang.
Iapun menjelaskan bahwa rumah ini adalah rumah tuan mudanya. Tuan muda-nya-lah
yang membawaku kesini dan memintanya untuk menemaniku sampai ia kembali. Lalu
ia menawarkan aku secangkir cokelat panas. Aku mengangguk dan berterimakasih.
Pria paruh baya itupun meninggalkan ruangan.
Tiba-tiba saja, bunyi ‘POP’ disampingku mengagetkanku. Ia melompat-lompat riang
sambil melambaikan koin emas di tangannya.
“I take this back as I’ve fulfilled my promises!” Serunya, masih sambil
berlompatan.
“No, I haven’t got any proof that the Mafias have forgotten us! And you
haven’t taken me to my twin! Come back here!” Pintaku sambil berusaha
meraihnya yang terus saja menghindar dariku. Ia terus saja mengucapkan
kalimatnya itu tanpa mempedulikan aku yang juga terus berkata bahwa belum ada
bukti riil bahwa mafia Perancis itu sudah tidak mengenal kami, dan aku belum
menemukan saudara kembarku. Sementara aku kesulitan menangkapnya, ia terus saja
melompat dan kini mulai berlompatan keluar jendela.
“NO, COME BACK HERE!” perintahku. Namun sosok itu terus melompat
menjauh. Akupun mengejarnya, melompat keluar melalui jendela kamar. Tak peduli
denyutan perih dan nyeri disekujur tubuhku, pun dengan matahari yang hampir
tenggelam. Terus kukejar sosok berlompatan itu sampai ketengah hutan. Saat
sosoknya benar-benar menghilang, barulah aku tersadar bahwa aku tersesat.
“Sial!” geramku kesal.
Aku panik. Berlari ke arah cahaya yang
masih tersisa. Nafasku mulai terengah. Semakin larut maka udara akan semakin
dingin. Kugosok-gosokan kedua telapak tanganku yang telanjang, begitu pula
dengan kaki-kakiku yang tak beralas. Bersandar pada pohon besar didekatku. Aku
tak boleh pingsan lagi.
Di sela kepanikanku. Sayup-sayup kudengar suara teriakan seseorang
memanggil-manggil namaku. Kupertajam pendengaranku, dan suara itu semakin
mendekat. ‘Aku pasti salah dengar. Tak seorangpun mengenaliku, disini’.
Kutapaki jalan setapak didekatku, mencoba mengikuti arah suara itu. Suara itu
terus saja memanggilku, kuatur nafasku untuk menahan perih yang semakin
menusuk. Berjalan terseok-seok karena luka di kedua
kakiku.
Tak lama kemudian, suara itu hilang, berganti dengan sesosok lelaki muda berambut
cokelat keemasan beberapa meter dariku. Ia berlari kearahku, lalu berhenti
tepat di hadapanku. Nafasnya terengah, mukanya merah padam, matanya merah dan
berair. Kami saling tatap.
“WHAT DO YOU THINK YOU’RE DOING? Kenapa pergi tanpa permisi?!” Teriaknya
kehilangan kendali. Aku tertegun, ia bisa berbahasa Indonesia.
“Kamu kira saya akan membiarkan keluarga saya pergi, lagi? Apa kamu tahu
seberapa paniknya saya?! Dengar baik-baik. Beberapa jam yang lalu detektif baru
saja memberitakan hal aneh bahwa para mafia Perancis telah bertingkah aneh!
Mereka semua terkena amnesia, semua data dan foto tentang kita hilang begitu
saja tanpa sisa. Kamu tahu apa yang saya pikirkan saat itu? Saya beranggapan
bahwa keinginan saya telah dikabulkan oleh sesosok Leprechaun yang mendengar
harapan saya tanpa harus menangkapnya!” Ia terengah, bahunyaturun-naik dengan
cepat.
“Lalu diperjalanan kembali ke rumah, saya temukan kamu
tergeletak ditengah hutan! Saya temukan foto kita dan sadar bahwa kamulah orang
yang saya cari sejak dulu! Orang yang fotonya ingin saya sandingkan dengan foto
saya, orang yang saya titipkan sepotong buku dongeng Leprechaun dengan harapan
potongan itu akan membawamu kesini. Kamu tahu betapa bahagianya saya saat itu?
Saya bawa kamu ke rumah dan merawatmu, meminta Albert untuk menjagamu sampai
saya kembali, but suppose what? YOU’RE GONE! What are you
doing here?” Jeritnya, memegangi pundakku.
“Mengejar Leprechaun, menyelesaikan masalah dengan mafia Perancis dan menemukan
saudara kembarku, William.” Jawabku polos.
“I AM WILLIAM! Sayalah orang yang kamu cari! Tidak perlu mengejar
Leprechaun lagi! Berhenti melukai dirimu sendiri! Saya tidak ingin kehilanganmu
juga, Kysa!” Jeritnya geram. Ada dua anak sungai yang mengalir di pipiku akibat
campuran rasa kaget, bingung, dan senang yang bercampur aduk. Iapun mendekapku
ke dalam pelukannya. “Welcome home, sister” bisiknya ditelingaku. Air
mataku bertambah deras.
Tak jauh dari sana, sesosok Leprechun berlompatan riang sambil mengatakan “I
took you here for an extraordinary ending! And this is an extraordinary one, I
like it!” serunya sambil tertawa dengan seringaian persis seperti milik
kakek tua yang kutemui sehari sebelumnya. Aku tertegun. Ia pun mengedipkan
sebelah matanya, kemudian menghilang dengan bunyi ‘POP!’.
Selesai
15/06/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar