Aku mengerti. Hati yang sudah terserpih tak akan mungkin kembali seperti sedia kala.
Tapi, bukan berarti mencoba merekatkannya, itu sia-sia saja. Setidaknya, ia akan membuat kita memutar lagi roda kehidupan.
Aku tau, kalian sedih.
Aku sedih. Mereka sedih.
Bahkan mungkin, ikan-ikan Koi di kolam itu pun ikut sedih.
Tapi setidaknya, jangan biarkan kesedihan itu menjadikan kita orang-orang yang menyedihkan.
Namun, bila alasan tadi tak juga cukup mengusir bayang-bayang itu.
Maka tolong ingat lah dia. Betapa ia merana dan tersiksa, menyaksikan kita yang belum juga benar-benar rela melepasnya.
Shafia Asy Syifa (Literature crawler)
A blog to share thoughts of everything..
Kitties
Rabu, 24 April 2013
Sabtu, 16 Maret 2013
Dear Cousin
Why are you so still?
While I keep seeing you standing
by the door sill
Why are you so still?
When I keep seeing you smiling at the midst.
Spreading laughter and happiness.
Why are you so still?
While there are so many people coming
to see you smiling.
Tears, wishes
Wailing, crying
Never make you move again even an inch.
Why are you so still, dear cousin?
P.S. Dedicated to Angga Eka Putra, our beloved one. May Allah accepts him on His side, and gives him immortal happiness. May Allah strengthens his whole family and blesses them, always.
See you next time, cousin ^_^
While I keep seeing you standing
by the door sill
Why are you so still?
When I keep seeing you smiling at the midst.
Spreading laughter and happiness.
Why are you so still?
While there are so many people coming
to see you smiling.
Tears, wishes
Wailing, crying
Never make you move again even an inch.
Why are you so still, dear cousin?
P.S. Dedicated to Angga Eka Putra, our beloved one. May Allah accepts him on His side, and gives him immortal happiness. May Allah strengthens his whole family and blesses them, always.
See you next time, cousin ^_^
Kamis, 14 Februari 2013
LAKI
LAKI
Oleh Shafia Asy-Syifa
Alkisah, di
sebuah desa, di pelosok Jawa Barat, hiduplah seorang petani paruh baya bersama
seorang isteri dan seorang anak laki-lakinya yang bernama Laki. Butuh waktu
sepuluh tahun, sampai akhirnya pasangan suami-isteri itu dikaruniai seorang
anak. Ketika Laki beranjak remaja, Ia merasa penasaran akan asal-usul namanya.
Maka, ia pun bertanya pada kedua orang tuanya, pada waktu makan malam tiba.
“Pak, kunaon atuh saya diberi nama Laki? memangna apa artina?”
tanyanya dengan mulut penuh nasi dan pete, menu favoritnya yang tak boleh absen
di tiap jam makannya.
Kedua orang tuanya menoleh
keheranan.
“Tumben kamu tanya begitu, kunaon? ada yang nanya?” tanya bapaknya.
“He-eh. Guru abdi tadi teh nanya, apa
arti nami abdi? Kunaon nami abdi teh cuma Laki saja, teu pakai embel-embel lain?”
Bapak dan ibunya pun tersipu malu
mendengar pertanyaan anak semata wayang mereka itu. Kedua alis Laki terpaut,
bingung melihat tingkah kedua orang tuanya.
“Eleuh-eleuh.. malah pada
senyum-senyum sendiri. Ada yang aneh kitu?”
“Enteu, Ki.. Kami cuma teringat jaman muda dulu. Nama kamu teh, aya
sejarahnya. Ceritanya teh, waktu ibu
sama bapak bulan madu ka Situ
Lengkong, ada orang bule nemu duit seratus ribu. Si bule, langsung mungut duitna sambil teriak, ’Laki!’, cenah.
“Nah, kata orang
sih.. Laki itu artina ‘beruntung’.
Sejak saat itu, bapak sama ibu janji, kalau nanti punya anak, akan kami beri
nama Laki. Teu peduli dia lelaki atau
perempuan.” Jelas bapaknya. Sedangkan ibunya yang pemalu, hanya tersipu-sipu.
Laki pun membayangkan, jika ia terlahir sebagai seorang anak perempuan
sedangkan ibu-bapaknya menamaninya Laki. Mungkin ia akan disangka sebagai
seseorang yang melakukan trans gender.
“Ih bapak.. itu mah LUCKY bukan
LAKI! Salah atuh ejaannya.” Bantah
Laki.
“Masa
bodo! Yang penting teh maknanya! Pokoknya nih, Jang, bapak sama ibu yakin, suatu saat
nanti kamu akan jadi orang yang beruntung!” Seru bapaknya dengan kedua tangan
terkepal di udara, layaknya seorang deklamator puisi.
*****
Keesokkan
harinya.
Siang terik itu, Laki berjalan
pulang sendiri dari sekolah. Ia berjalan menyusuri pepohonan dan semak-semak
disepanjang jalan menuju rumahnya. Konon keluarga kecil itu tinggal di sebuah
gubuk kecil, di sebuah gunung yang cukup jauh dari jalan raya. Di tengah-tengah
perjalanan pulang, pandangannya teralih pada selembar kertas berwarna biru yang
tergeletak di tanah.
“Apaan
tuh?”
Ia
pun memungut lembaran itu, yang ternyata adalah selembar uang lima puluh ribuan
rupiah.
“Siapa
nih, yang ninggalin duit di tengah gunung? Punteun!
Duit saha eta? Halo!” Serunya. Siapa
tau pemiliknya masih ada di sekitar sana. Tapi, berapa kali pun ia berteriak,
tak ada seorangpun yang menjawabnya.
“Jangan-jangan,
benar yang dibilang bapak. Nama saya membawa keberuntungan.” Maka ia berlari
sekencang mungkin menuju rumah, sambil memanggil-manggil bapaknya.
“Bapak!
Bapak! Bapak! Bapak benar, pak! Nama saya membawa keberuntungan! Liat nih pak!
Laki nemu duit di jalan!” Lapornya dengan nafas tersegal-segal.
“Apa,
jang? Pluit? Pluit apa?” sahut
bapaknya dari atas pohon cengkih.
“Bukan
pluit pak! Duit!” jawabnya sambil memperlihatkan hasil temuannya. Bapaknya pun
turun dan segera merangkulnya.
“Apa
kata bapak, jang. Nama pemberian kami,
pasti membuat kamu menjadi orang yang beruntung! Hayu kita pulang. Perut bapak sudah keroncongan. Bantuain bapak
bawa bakulnya ya!” Pinta bapaknya sambil menyodorkan sebakul cengkih, hasil
panennya.
“Siap,
bos!”
Maka mereka berjalan beriringan
menuju rumah mungil yang mereka tinggali. Sesampainya di sana, mereka disambut
oleh wajah bingung ibunya.
“Kunaon, bu?” Tanya bapaknya.
“Ari bapak liat duit yang bapak kasih ke
saya teu? Tadi pagi, ibu taro di
bawah bantal buat belanja sembako, tapi kok nggak ada ya?”
“Yang
seratus ribuan bu?”
Ibunya
mengangguk. “Makanya ibu, tidak bisa masak nasi. Makan pakai singkong sama ikan
lele saja ya?”
“Ya
sudahlah.. teu nanaon. Apa juga enak
kalo lagi laper.” Sahut Pak Tani.
“Tapi
pete mah aya kan, bu?” Tanya Laki.
Kuatir makanan wajibnya juga harus absen juga.
“Aya, aya. Itu mah masih banyak, kalau
habis juga tinggal metik di pohon.” Jawab ibunya.
Akhirnya, merekapun terpaksa makan
menu ‘barat’ itu. Ya, kalau orang barat biasa makan lauk dengan kentang atau
roti, keluarga petani ini pun terpaksa harus menyantap menu ‘barat’ alias menu
Jawa Barat yang tak biasa tersebut.
Dua hari kemudian, sepulang Laki
bermain bola di lapangan desa sebelah bersama teman-temannya, kakinya
tersandung sesuatu dan tersungkur jatuh. Ia kemudian mencari-cari benda yang
membuatnya terjatuh.
“Subhanallah.
Siapa ya yang naro tas di tengah jalan begini?” tanyanya, sambil memungut
sebuah tas kecil yang tersangkut pada sebuah akar pohon. Ia buka tas mungil itu
dan menemukan sebuah ponsel dan charger
di dalamnya. Ponsel itu masih bagus dan berfungsi dengan baik. Ia pun
celingukkan, mencari orang yang mungkin akan kembali mencari tas yang berisi ponsel
tersebut.
Lima belas menit berlalu. Laki pun
memutuskan untuk membawa pulang tas itu. Mungkin Allah memang berniat
memberikan tas berserta isinya itu padanya.
“Laki
memang lucky! Beruntung!” pekiknya sambil berjalan pulang.
Sesampainya
di rumah, Laki memperlihatkan barang temuan keduanya itu pada orang tuanya.
“Walah-walah.. jang. Ini mah hape
bagus! Kalau kita jual, satu juta mah dapet!” Seru bapaknya sambil
melihat-lihat fitur di ponsel tersebut.
“Ya
sudah, mandi sana! Keburu magrib.” Perintah ibunya.
“Siap,
bos!”
Keesokkan harinya, rumah mungil itu
digemparkan dengan hilangnya kalung emas seberat lima belas gram, simpanan
kedua orang tuanya.
“Kamu
taro di mana bu?” Tanya bapaknya.
“Ya
di lemari, pak. Seperti biasa. Cuma tadi ibu lupa ngunci lemarinya!” Jawab
ibunya sambil mulai sesengukkan.
“Apa
mungkin gara-gara Laki nemu hape ya pak?” Tanya ibunya disela-sela tangisnya.
“Teu mungkin ah bu. Itu mah cuma
kebetulan saja. Coba dicari lagi. Mungkin jatuh atau keselip di suatu tempat.”
Namun, satu minggu berselang, dan kalung itu tak pernah bisa ditemukan.
*****
Keesokkan harinya, sepulang Laki
mengaji dan shalat Isya’ di mushola, ia temukan sebuah kotak berwarna hitam.
Kotak itu berisi dua buah gelang emas yang tebal dan cukup berat. Tanpa pikir
panjang lagi, ia bawa pulang kotak tersebut dan memberikannya pada ibunya.
“Ibu,
ini Laki nemu gelang emas di jalan. Mungkin bu, Allah ngasih gelang ini ke kita
sebagai ganti kalung emas ibu yang hilang!” seru Laki kegirangan.
“Kamu
yakin, Ki? Memangnya tidak ada yang cari gelang ini?”
“Teu aya, bu.”
“Ya
sudah, besok kita bawa ke toko emas buat ngecek apa ni emas asli atau bukan.” Sahut
bapaknya sambil mengaduk kopi hitam di hadapannya.
Pagi hari menjelang. Belum sempat
mereka mengumpulkan seluruh nyawa untuk menyambut hari baru, satu musibah
lainnya datang. Gudang penyimpanan hasil
panen mereka dibobol pencuri. Cengkih kering yang telah mereka bungkus dalam
dua puluh karung seberat lima puluh kilogram, ludes.
“Ya
Allah.. Ki! Hasil panen kita! Nilainya ratusan juta, hilang diambil orang!
Astagfirullahal’adziim!” Seru bapaknya duduk berlutut dengan lesu. Ibunya hanya
bisa menangis. Sedangkan Laki, dengan wajah polosnya, berkata, “Tos atuh pak.. bu.. kan yang di pohon
masih ada..”
“Pohon
yang mana yang kamu maksud?” Tanya bapaknya.
“Eta tina kebon sebelah. Banyak yang
belum dipanen.”
“Eta mah pohon orang atuh, Ki! Masa’ punya orang mau kita ambil!”
Laki
hanya bisa menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Iya juga yah!”
“Laki..
Laki! Kamu tuh polos apa bodoh sih?!” geram bapaknya.
“Tuh
kan, pak. Benar kata ibu, setiap Si Laki nemu sesuatu, pasti kita kehilangan
sesuatu juga! Bahkan nilainya berkali-kali lipat lebih banyak dari nilai benda
yang dia temukan!”
“Tapi
bu! Laki teu merasa sial setelah
nemuin barang!” bela Laki.
“Iya,
kamu sih untung, kami yang buntung! Sudahlah! Pokoknya sejak saat ini nama kamu
bapak ganti Ridho, saja!”
“Kunaon atuh, pak. Nama saya harus
diganti Ridho? Kenapa tidak Michael Jackson aja, biar keren sekalian?!”
“Ini
bukan soal keren atau tidak, Ki. Namamu diganti Ridho supaya kalo lain kali
kamu nemu barang, Allah tuh ridho! Jadi tidak ada lagi barang yang hilang
setelah kamu menemukan sesuatu!”
“Maksudna, pak??” tanya Laki dengan wajah
polos. Ibu dan bapaknya hanya bisa geleng-geleng kepala, malas menjelaskan
lebih lanjut lagi.
SELESAI
Glossarium:
·
kunaon
atuh: ada apa sih
·
memangna
apa artina: memangnya apa artinya
·
abdi: saya
·
nami: nama
·
teu/enteu:
tidak
·
kitu: gitu/begitu
·
aya: ada
·
ka: ke
·
duitna: uangnya
·
cenah: katanya
·
Jang
(Ujang): panggilan untuk seorang anak/pemuda laki-laki di Jawa Barat.
·
Punteun!
Duit saha eta? Permisi, ini uang siapa?
·
Hayu: Ayo
·
Ari: Kalau
·
teu
nanaon: tidak apa-apa
·
Teu aya: Tidak
ada
·
Tos atuh
pak: Sudah ya pak
·
Eta: ini/itu
·
tina: di
Rabu, 26 Desember 2012
Baik-Buruk Komersialisasi Pendidikan
BAIK-BURUK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Oleh Shafia Asy Syifa
Ketika mendengar “komersialisasi”,
hal pertama yang terbersit di benak kebanyakan orang adalah bahwa komersil itu
buruk! Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, bahkan wajar-wajar saja. Apalagi,
jika diamati dari banyak kasus yang terjadi di dunia pendidikan negeri ini.
Banyak anak negeri yang harusnya memiliki kesempatan untuk mengenyam setidaknya
pendidikan dasar dan menengah, harus meninggalkan bangku sekolah mereka hanya
karena masalah biaya yang semakin tinggi. Bahkan, banyak dari mereka yang sama
sekali tidak berkesempatan untuk mengenyam pendidikan formal.
Permasalahan
biaya pendidikan memang belum memiliki solusi yang terbaik. Lebih dari itu, sebagian
pihak memanfaatkan kenaikan biaya ini untuk meraup keuntungan dari para orang
tua wali siswa. Beberapa waktu lalu, seorang anak kelas empat Sekolah Dasar
Swasta di Tangerang Selatan, yang berpindah ke Sekolah Dasar Negeri di Jakarta,
harus membayar sampai dengan empat belas juta rupiah di muka, hanya untuk
mendapat bangku di sekolah negeri tersebut.
Pada
dasarnya, kenaikan biaya sekolah yang ditetapkan oleh masing-masing yayasan
atau komite sekolah bukan tidak beralasan. Kondisi krisis ekonomi global sangat
mempengaruhi beban biaya operasional sekolah. Sebut saja beban honor guru yang selalu
meningkat, karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat pula. Belum lagi
nominal Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan oleh pemerintah tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah secara menyeluruh. Dana BOS
yang disediakan pemerintah di kota masih berkisar 500 ribu rupiah per siswa SD
per tahun. Untuk siswa SMP diberikan dana sekitar 800 ribu rupiah per tahun.
Sedangkan, hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Depdiknas, untuk menuju
sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar 1,8 juta rupiah tiap siswa SD per tahun
dan 2,7 juta rupiah tiap siswa SMP per tahun. Jelas perbandingan dana BOS
tersebut jauh dari cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan siswa selama satu
tahun. Sebut saja biaya yang dibutuhkan untuk membeli buku paket siswa SD dalam
satu tahun ajaran yang mencapai lebih dari 300 ribu rupiah. Tak heran,
sekolah-sekolah yang memiliki banyak siswa dari kalangan masyarakat menengah ke
bawah, hanya menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) sebagai buku pegangan bagi
murid-muridnya. Sedangkan buku paket, hanya disediakan di perpustakaan sekolah
dalam jumlah dan kondisi yang kurang memadai.
Berdasarkan
uraian di atas, tampak bahwa mutu sebuah sekolah berbanding lurus dengan
anggaran operasional sekolah yang memadai. Bagaimana bisa sebuah sekolah dapat memiliki
tenaga pengajar yang benar-benar kompeten di bidangnya, jika tidak ada anggaran
yang cukup? Bagaimana bisa sebuah sekolah menyediakan fasilitas utama dan
fasilitas pendukung yang bagus bagi siswa-siswanya tanpa biaya yang memadai? Apakah hal ini yang menyebabkan hampir seluruh
sekolah menjadi komersil?
Memang
benar, bahwa kebutuhan operasional sekolah yang membuat pendidikan menjadi
mahal. Komersialisasi pada sebuah sekolah dikatakan baik, jika masih berada di
batas rasional, sesuai aturan yang ada. Dan juga mendatangkan manfaat bagi
seluruh civitas di dalamnya, terutama peserta didiknya. Sebaliknya, sebuah
sekolah yang menerapkan komersialisasi yang tidak sehat, adalah sekolah yang
telah berbelok dari aturan yang ada, dan keluar dari batas rasionalnya. Manfaat
yang didatangkan pun hanya untuk kepentingan segelintir pihak, Bukan untuk
peserta didiknya. Lalu bagaimana cara agar Indonesia dapat mengatasi tingginya
angka anak putus sekolah, dan memberi kesempatan pendidikan kepada lebih banyak
lagi anak bangsa?
Saat
ini sudah banyak lembaga dan kelompok orang yang mengadakan sekolah gratis bagi
anak-anak kurang mampu. Tetapi, pendidikan yang diselenggarakan tersebut masih
pada taraf ‘seadanya’. Media pengajaran yang seadanya, tenaga pengajar ‘seadanya’,
dan banyak lagi. Mereka pun tidak memiliki kesempatan untuk bersaing secara sehat dengan siswa dari
sekolah bertaraf Internasional. Yang memungkinkan mereka untuk menunjukkan bakat-bakat
yang mereka miliki. Alangkah baiknya jika ada sekolah-sekolah yang menerapkan
sistem ‘peduli moral dan prestasi’. Sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas
bertaraf internasional, yang memungut biaya normalnya sekolah bertaraf
internasional bagi siswa dari kalangan ekonomi menengah ke atas, dan dari biaya
tersebut, dapat mendanai anak-anak kurang mampu yang memiliki tekad yang kuat
untuk belajar. Keduanya dapat sama-sama bersekolah di sana. Nantinya, anak-anak
tersebut bisa berkarya. Karya-karya mereka kemudian bisa dikomersilkan dan
dijual, dan hasilnya dapat dimanfaatkan untuk mendanai lebih banyak lagi siswa
yang kurang beruntung.
Mungkin awalnya akan ada banyak penolakkan.
Wajar saja jika mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah atas tidak
ingin mendapat perlakuan yang sama dengan siswa yang mendapat bantuan dana.
Namun, sejatinya hal itu bisa dicegah jika sejak awal sekolah seperti itu
didirikan, mereka diberi pengertian akan Visi dan Misi berdirinya sekolah tersebut.
Dan yang paling penting adalah kesediaan dari siswa yang berasal dari keluarga
yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas untuk duduk berdampingan dengan
siswa yang menerima bantuan. Sekolah seperti ini diyakini akan menciptakan
kader-kader bangsa yang jauh lebih baik. Karena dengan hidup berdampingan
dengan siswa yang kurang mampu, akan mengajarkan mereka untuk menghargai
seseorang bukan dari hartanya, tapi dari usahanya. Sebaliknya, siswa yang
diberi bantuan, akan terpacu untuk belajar dan berusaha lebih giat, agar kelak
memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Sekolah seperti ini memiliki
komersialisasi yang sehat. (Aisyah)
(24/11/2012)
Rabu, 22 Agustus 2012
Battle of Choices
When logic and feeling are crashed.
I just don't know where to base.
Since standing on logic is hurt,
While standing on feeling is too risky.
People always say to base on both.
But, it's not as easy as making a bowl of chicken broth.
~Shafia Asy-Syifa~
260712-11:45
I just don't know where to base.
Since standing on logic is hurt,
While standing on feeling is too risky.
People always say to base on both.
But, it's not as easy as making a bowl of chicken broth.
~Shafia Asy-Syifa~
260712-11:45
JILBAB ORANYE PENEBAR SENYUM
Tiga puluh menit sudah aku mematut diri di depan cermin
toilet kampus, yang saat ini beralih fungsi menjadi cermin pribadiku.
Sebenarnya itu bukan semerta-merta karena keegoisanku. Salah mereka
sendiri yang tidak memanfaatkan fasilitas ini di saat keemasan seperti
ini. Ya, kau tau persis, bagi seorang pencinta mode, alias tukang
dandan, sepertiku, pengetahuan tentang jam kosong toilet sangatlah
penting. Hal itu berguna untuk memaksimalisasi penampilanku di depan
publik. Maksudku, bagaimana bisa kudapat hasil maksimal jika harus
berdesakkan dengan mahasiswi lain?
Bak tokoh nenek sihir di cerita puteri salju, tanpa peduli bahwa ia mungkin telah muak, kutanya cermin tak berdosa itu untuk kesekian kalinya. “Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau…”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.” Sambung seseorang di belakangku.
“Regiza!” Pekikku. “Ngapain kamu ke sini? Ganggu ritualku saja!” Candaku.
“Memangnya tiga puluh menit masih kurang, non?”
“Kurang, sebentar…lagi.”
“Dasar tukang dandan! Walaupun sudah berhijab, masih…saja narsis!”
Kami pun tertawa kecil.
“Tapi gimana penampilanku ini? Tetap cantik kan, meski berhijab?”
Ia perhatikan aku dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian tersenyum, tanpa mengatakan sepatah pun kata. ‘Pasti ada yang salah’ batinku cemas. Kuperhatikan lagi pantulan diriku di cermin tersebut. Kerudung langsung pakai atau biasa disebut bergo itu terlihat bagus-bagus saja disandingkan dengan atasan kaos lengan panjang dan blue jeans. Hmm, memang terlalu sederhana dan tidak biasa bagiku. Apa boleh buat, baju panjang dan jilbabku belum banyak, mengingat baru hari ini aku mengenakan jilbab. Tak mungkin juga kukenakan pakaian ibuku yang sudah ketinggalan zaman. ‘Plis, deh!’ gerutuku dalam hati.
“Kok senyum saja, Za? Kenapa, sih?”
“Ga, aku heran saja, kenapa ya, kamu tuh ga bosan-bosan sama warna oranye? Tuh lihat! Jilbab, baju, sepatu, tas, sampai jam tangan, semuanya warna oranye!”
Aku hanya tertawa mendengarnya. Mana mungkin aku bosan dengan warna kesukaanku sejak kecil. “Kukira kenapa! Jadi, bagaimana penampilanku?” Ulangku. Ia lipat kedua tangannya di depan dada, seraya memicingkan sebelah matanya. “Cantik. Lebih cantik dari biasanya. Ini baru… penampilan seorang wanita muslim!” Jawabnya.
Aku tersipu.
Regiza mungkin memang bukan seorang wanita muslim. Ia seorang beragama katolik yang taat. Namun, ia sangat santun dan mampu menghormati orang yang berlainan agama. Ia bahkan, dengan tulus, mendukung mereka untuk menjalankan kewajiban agama mereka. Ya, sama seperti saat ini. Subhanallah.
“Jadi? Sudah siap masuk kelas?” Tanyanya dengan kedua alis terangkat.
Aku mengangguk mantap. Kutarik otot-otot pipiku, siap menebar pesona, mengumpulkan garis-garis senyuman di seantero kampus. Yeah! Meskipun sudah berhijab, aku harus tetap eksis. Lalu, kami pun melangkah meninggalkan ‘markas’ pribadiku itu.
“Alya? Lo Alya kan?” Tanya seorang teman kelas kami. Radith.
Aku mengangguk, dan berusaha memberikan senyuman terbaikku. ‘Target pertamaku hari ini’ batinku.
“Aha..ha..ha..ha.. Lo salah minum obat ya? Atau kesambet jin Arab? Ha..ha..ha..ha..” Ejeknya. Ia tertawa terbahak-bahak sampai wajahnya memerah bak tomat busuk, sambil memegangi perut gembulnya. Regiza hanya bisa tersenyum.
Tunggu, skenarionya tidak seperti ini. Harusnya, ia terpesona dengan penampilan baruku. Ini tidak benar. “Memangnya ada yang salah ya?” Tanyaku kesal. Dengan susah payah, Radith berusaha menghentikan tawanya. “Bagus sih, sebenarnya. Cuma gue kaget saja, tiba-tiba lo berubah begini. Biasanya kan lo suka pakai baju yang agak-agak menggoda iman.”
“Habis, aku malu. Mamaku berjilbab. Adik perempuanku, Afni, sudah dua tahun mondok di pesantren. Masa’ aku ga pakai jilbab juga. Gengsi dong!”
“Woles, non.. ayo dong masuk kelas..” Ajak Radith, sambil menarik tangan kananku. Sedangkan Regiza, mengekor di belakangku.
Sesaat setelah kami memasuki ruang kelas, bagaikan sekelompok mahasiswa paduan suara, terdengarlah seruan yang tak kalah kompak dengan supporter bola di stadion Gelora Bung Karno. “Subhanallah!! Alya sudah taubat, rupanya!” Seru seluruh temanku yang sudah duduk manis di kursi mereka masing-masing. Langit runtuh saat itu juga.
Kondisi ini semakin memburuk saat Radith menambahkan dengan gaya dan intonasi yang ‘melambai’, “Sesuatu banget deh, Ya!” kemudian, mereka semua tertawa menang. Mereka menertawaiku!
Astagfirullah, siapa dalang dibalik semua ini? Siapa? Harusnya mereka memujiku, bukan mengujiku dengan entah apa namanya ini. Skenarioku GAGAL TOTAL. Aku tidak pernah diejek sebelumnya, aku selalu di-pu-ji! Oh! Ingin rasanya aku berlari keluar kelas dan menangis sejadi-jadinya. Tapi sepertinya, nasib baik sedang bosan berpihak padaku hari ini. Sosok dosen tergahar di kampus ini, Pak Anton, sudah bertengger di depan pintu kelas dan menebar sorotan mautnya mengitari kelas yang gaduh ini. We’re dead.
.ᵴ.
Pagi ini aku terbangun dari tidurku dengan perasaan jengkel bukan main. Bukan hanya dipermalukan di depan kelas. Karena kondisi kelas yang gaduh bagaikan pasar burung, pak Anton membombardir kami dengan quiz dadakan dengan kesulitan tingkat dewa, selama dua jam perkuliahan itu. Meskipun, aku mendengar seseorang memasuki kamarku, aku masih enggan membalik badanku, apalagi kalau sampai harus bangkit dari pembaringanku.
“Kak.. Ayo bangun. Sudah siang.” Ujar ibuku, sambil mengusap kepalaku. Aku bergeming.
“Kak, kita kan sudah janji mau mendaftarkan Tito di pesantrennya Afni hari ini. Kasihan kan dia, om dan tante mu itu sibuk cari nafkah sampai tak sempat memperhatikan dia.”
Kali ini aku berbalik, sisi kemanusiaanku terpanggil.
Ibuku tersenyum, lalu mengusap kepalaku. “Anak baik. Mari bersiap. Kerudung oranye kesukaanmu sudah ibu siapkan.”
Aku mengangguk. “Terima kasih, mamaku sayang.”
Ia tersenyum, lalu melangkah anggun meninggalkan kamar.
Air yang membasahi tubuhku membawa pergi rasa kesal yang tadi menggelayutiku, membawa kembali semangat juangku yang sempat surut karena kekalahan telak yang kudapat, kemarin. Ya, hari kemarin sudah berlalu. Mungkin tuhan mengujiku di hari pertamaku mengenakan jilbab. Tapi, aku tak akan menyerah. Hari ini aku akan lebih memesona lagi, menebar lebih banyak senyuman di muka bumi. Ya, benar, bukankah senyum itu shodaqoh? Semakin banyak aku tersenyum, atau membuat orang lain tersenyum, maka pahala yang kudapat akan semakin berlipat!
Aku mengangguk-angguk mantap, sambil mematut diri di cermin meja riasku. Sapuan make up tipis sudah kupoles sedemikian rupa di wajahku yang rupawan. Penampilanku sudah hampir sempurna. Aku hanya perlu mengenakan jilbab oranye kesayanganku. Aku yakin, biarpun aku belum pandai membentuknya, aku tetap akan terlihat memesona. Lihatlah buktinya! Pantulan diriku di cermin itu begitu memukau. Maka dengan percaya diri tinggi, aku pun melaksanakan ritual penutupku.
“Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.”
Kemudian, aku terkikik geli. Apa kata ibuku jika ia melihat kelakuan anaknya yang satu ini.
“Alya, kamu sedang apa sih? Kok tertawa sendiri?” Tegur ibuku yang kini berdiri di ambang pintu.
“Tidak ada apa-apa kok, ma. Alya senang saja bisa mengunjungi Afni.”
“Oh.. mama kira kamu kenapa. Oh ya, kerudung adikmu jangan lupa dibawa ya. Mama lupa memasukkannya ke tasnya.”
“Afni minta tolong setrikakan baju lagi?”
“Ya, katanya setrika wali kamarnya sedang rusak, jadi tidak bisa meminjam setrikanya. Yah, kamu kan tau sendiri, peraturan disana. Para santri tidak diperbolehkan membawa barang-barang elekronik.”
“Hmm, tapi kerudungnya yang mana ya?”
“Warnanya sama dengan kerudungmu itu. Nah, itu dia.” Ujarnya seraya menunjuk kerudung oranye yang menggantung di lemari jilbabku.
“Oh, Alya kira, punya Alya. Habisnya, mama taruh di samping kerudung kesayanganku sih.”
Ia tersenyum.
“Ya sudah, maaf. Maklum mama kan sudah berumur.”
Kami tertawa bersamaan. “Ya, mama, nanti Alya bawakan.”
“Mama tunggu di mobil, ya.”
Aku mengangguk.
.ᵴ.
Pemandangan di wilayah pondok pesantren ini selalu mengingatkanku akan kampung halamanku di pelosok Jawa Barat. Rerindangan pohon yang tak kenal lelah menaungi makhluk hidup di sekitarnya, juga, hembusan angin sepoi-sepoi yang menyapunya. Padahal, pondok pesantren ini tidak terletak di pedesaan. Subhanallah.
“Ayo, kita turun! Nanti, setelah beres urusan pendaftarannya Tito, baru kita kunjungi Afni di asrama puteri.” Ajak ayahku seraya membuka sabuk pengamannya.
“Mmh, Alya tunggu di mobil saja deh, pa.” Sahutku dari kursi paling belakang.
“Kak Alya, yakin? Kan di dalam mobil pengap.” Sahut Tito.
“Ya, nanti kalau aku bosan, atau kepanasan, kan bisa tunggu di saung-saungan dekat sini.”
Ayahku menghela nafas.
“Ya sudah, kunci mobilnya papa tinggal. Jangan lupa tutup jendela dan kunci mobil, kalau mau keluar.”
“Siap, bos!”
Ibuku tersenyum, lalu menggeleng, sebelum akhirnya bersama Tito dan ayah, meninggalkan aku sendiri. Benar, sen-di-ri, dan itu berarti..
“AKU BEBAS!!!!!!”
Aku tak akan bisa beraksi dengan ayah dan ibuku dekatku. Tak leluasa menimbun butir-butir pahala yang akan kudapat dari pesonaku ini. Maka, segera kupatut diriku pada cermin kecil yang selalu menunggui saku celanaku, membenahi make up dan jilbabku yang agak berantakan. Tanpa basa-basi lagi, kubuka rangka besi itu dan menguncinya.
Kudengar, pemuda-pemuda alim menyukai wanita yang anggun dan sholehah. Walaupun mungkin, aku belum menjadi wanita sholehah, setidaknya aku bisa menunjukkan bahwa aku adalah wanita yang anggun. Maka, aku pun coba berjalan seanggun mungkin. ‘Siapa tau bisa memikat hati seorang ustadz muda yang tampan.’
Baru beberapa meter aku melangkah, dua garis senyuman sudah berhasil kudapatkan dari dua orang santri putra yang berjalan mendahuluiku.
“Assalamu’alaikum, ukhti” Sapa mereka, masih dengan senyuman.
“Wa’alaikum salam.” Jawabku dengan nada lembut.
‘Awal yang sempurna!’
Mulanya hanya dua, lalu terus bertambah menjadi empat, lima, delapan, sepuluh, dua belas, lalu lima belas. Semakin banyak lagi senyuman yang kudapat, sejalan dengan menit-menit yang berlalu saat aku duduk di sebuah saung kecil dekat kolam ikan. Terlalu banyaknya senyuman yang kudapat, membuatku lupa akan hitungannya. ‘Ternyata mendapatkan pahala dari menebar senyum itu sangat mudah!’ Aku sangat menikmati saat-saat kejayaan seperti ini.
“Assalamu’alaikum, ukhti.” Ujar seorang pemuda seraya menghampiriku.
“Wa’alaikum salam…” jawabku dengan binar cerah di kedua mataku.
‘Tampannya……..! Tuhan benar-benar bermurah padaku hari ini.’ batinku gemas.
“Maaf ukhti, tapi tidak sepatutnya ukhti berada di sini.”
Kalimat itu sukses membuat kerutan di dahiku terpaut, menyatu.
“Maksud ustadz? Saya tidak boleh duduk di sini?”
Ustadz muda itu tertawa kecil.
“Loh, memangnya sudah berapa lama kamu di sini, sampai tidak mengerti peraturan di pesantren ini?”
Mungkin pikiranku terganggu akan ketampannan pemuda di hadapanku, sehingga aku tak mampu mencerna kata-kata yang ia lontarkan dengan baik. Maka, dengan polosnya aku menjawab. “Baru sekitar tiga puluh menit, ustadz.”
Kini, giliran alisnya bertaut.
“Tapi, bagaimana bisa….”
“Alya! Cepat kemari! Kita jalan ke asramanya Afni!” panggil ayahku dari kejauhan, memotong percakapanku dengan sang ustadz tampan.
Helaan nafas kekecewaan pun tak mampu kusembunyikan, “Maaf uztadz, saya harus pergi.”
Aku pun berlalu, meninggalkan sang ustadz tampan dengan wajah keheranan. Sambil menggaruk dahi kananku yang tak terasa gatal, rasa penasaranku muncul. ‘Kira-kira, apa yang ingin dikatakan ustadz itu ya?’
“Hmm, dengan rok itu, kamu terlihat seperti santri yang mondok di sini, kak.” Ujar ibuku dengan garis senyum di wajahnya.
Tunggu, apa mungkin..
Itulah mengapa ustadz tadi bertanya aneh padaku. Aku pun terkikik, tak sanggup menahan geli yang menggelitik perut.
“Ih, kak Alya aneh! Tertawa sendiri tanpa sebab. Seperti orang gila saja!”
“Hei Tito, kamu kan masih kecil. Tidak perlu mengurusi urusan orang dewasa!”
Ia memberengut. Aku gembira.
Beginilah rasanya kembali menjadi puteri cantik yang memesona. Dikelilingi oleh banyak pasang mata yang menoleh dan membalas senyuman manisku. Hanya saja, biasanya aku mungkin hanya seorang puteri iblis, yang tak bosan memamerkan auratnya. Aku pun berjalan perlahan, mengekor pada ayahku, ibuku, dan Tito.
“Kok banyak santriwati yang cekikikan sejak kita lewat ya?” Tanya Tito, memecah lamunanku.
“Ya, mungkin ada hal lucu yang sedang mereka bicarakan.” Jawab ayahku, bijak.
“Tapi aneh, om! Tito perhatikan, mereka tidak tertawa sebelum kita lewati!”
“Sudah, sudah, tidak baik su’udzon sama orang lain! Biarkan sajalah mereka tertawa sesuka hati.” Sahut ibuku.
Sedangkan aku? Aku hanya tersenyum mendengar celotehan anak itu. Sudah jelas bukan? Mereka tertawa karena terpesona melihatku. Mereka senang kedatangan tamu yang cantik jelita sepertiku. Ternyata pesonaku tidak hanya terpancar bagi kaum adam, tapi juga pada kaum hawa, yang mungkin, menyimpan rasa iri akan kerupawananku ini.
.ᵴ.
“Kak Afni, aku heran deh! Masa’ dari tadi kami lewat, banyak santriwati yang menertawai kami!” Seru Tito, lagi, pada Afni.
Afni selesaikan suapan terakhirnya. Lalu meminun seteguk air mineral.
“Ah, mungkin itu cuma perasaan kamu saja, To.” Jawabnya.
“Iya, Afni benar, To. Kamu saja nih yang ke GR-an!” Sambungku seraya membantu ibu, merapikan bekas makan kami.
Tito mendengus. “Aku serius, kak! Laki-laki kan tidak seperti perempuan yang lebih mengandalkan perasaannya! Tito punya alasan logis kok!”
“Ya, ya. Alasan yang tadi itu, kan? Dari pada berisik begitu, lebih baik bantu kami buang sampah ini ke tong sampah.”
Aku pun menyodorkan sebungkus sampah padanya, sambil tersenyum licik.
“Akan Tito buktikan, bahwa dugaan Tito itu beralasan!”
Ia pun menghentakkan langkahnya karena jengkel. Aku tersenyum menang, sambil menopang dagu pada meja yang kami gunakan. Tak lama kemudian, ia kembali dan berdiri mematung di belakangku.
“Kak Afni, Tito boleh Tanya sesuatu?”
Afni mengangguk cepat. “Memangnya Tito mau tanya apa?”
“Language Indiscipline Student, apa artinya?”
“Mmh, Murid yang melanggar disiplin bahasa. Kira-kira artinya seperti itu. Memangnya kamu dapat dari mana kalimat seperti itu?”
Ia kemudian tersenyum lalu tertawa terpingkal-pingkal sambil berjongkok dan memegangi perutnya.
“Kok malah tertawa? Tau dari mana kalimat seperti itu?”
“Dari situ!” jawabnya sambil menunjuk kearahku. “Dari tulisan hijau di belakang jilbabnya kak Alya!”
Jawaban itu datang bak guntur yang menyambarku. Sontak kutarik sisi belakang jilbab yang kukenakan, ada tulisan hijau yang tak seharusnya ada di sana. Sementara Afni ikut tertawa, gelagapan, kubuka tas selempangku dan menarik jilbab oranye di dalamnya. Jilbab oranye itu mulus, tanpa ada warna lain sedikitpun.
“Kak Alya, yang kakak pakai itu kan jilbab yang kuminta tolong mama untuk disetrikakan! Minggu lalu, Afni dihukum untuk memakai jilbab itu selama tiga hari, karena tertangkap basah menggunakan bahasa Indonesia!”
Tanganku bergetar hebat. Jadi.. jadi sedari tadi, akulah yang para santri tertawai? Jadi, mereka tersenyum dan menegurku bukan karena pesonaku tapi karena jilbab sial ini? Tunggu, berarti, yang mungkin ingin dikatakan ustadz tampan itu…
“Tapi, bagaimana bisa kamu dihukum mengenakan jilbab itu, padahal kamu baru ada di pesantren ini selama tiga puluh menit?!”
Sekali lagi, langit terasa runtuh, menimpaku. Rasa malu yang tak tertahankan membungkamku hingga perjalanan kembali ke rumah. Hingga ibuku mengusap pelan kepalaku sambil menarikku dalam pelukannya.
“Alya, masa awal mengenakan jilbab memang mungkin terasa berat. Terutama, lingkungan sekitarmu yang kurang mendukung. Tidak seperti Afni, atau mama, yang mengawali berhijab sejak kami mondok di pesantren. Tapi mama yakin, Alya, anak mama yang cantik ini, tidak akan menyerah begitu saja pada gengsi atau rasa malu.”
Ya, ibuku benar. Mungkin, sejak kemarin, aku hanya memikirkan kesan orang lain padaku saat melihat perubahan ini. Tapi, mengapa aku harus peduli? Bukankah berhijab memang perintah Allah? Tuhan yang telah memberikan aku kehidupan di dunia ini. Tuhan yang telah begitu banyak memberiku nikmat-Nya. Astagfirullah, maafkan aku ya Rabb. Aku berjanji, sejak helaan nafas ini, akan kuubah niatku. Semula, mungkin, aku berhijab karena orang lain, tapi kini, aku akan berhijab karena-Mu. Hanya untuk mendapatkan senyum-Mu, bukan untuk mengumpulkan senyuman manusia, atau makhluk lain.
SELESAI
Tangerang Selatan, 22 0812-11:45
-Shafia Asy Syifa-
Bak tokoh nenek sihir di cerita puteri salju, tanpa peduli bahwa ia mungkin telah muak, kutanya cermin tak berdosa itu untuk kesekian kalinya. “Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau…”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.” Sambung seseorang di belakangku.
“Regiza!” Pekikku. “Ngapain kamu ke sini? Ganggu ritualku saja!” Candaku.
“Memangnya tiga puluh menit masih kurang, non?”
“Kurang, sebentar…lagi.”
“Dasar tukang dandan! Walaupun sudah berhijab, masih…saja narsis!”
Kami pun tertawa kecil.
“Tapi gimana penampilanku ini? Tetap cantik kan, meski berhijab?”
Ia perhatikan aku dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian tersenyum, tanpa mengatakan sepatah pun kata. ‘Pasti ada yang salah’ batinku cemas. Kuperhatikan lagi pantulan diriku di cermin tersebut. Kerudung langsung pakai atau biasa disebut bergo itu terlihat bagus-bagus saja disandingkan dengan atasan kaos lengan panjang dan blue jeans. Hmm, memang terlalu sederhana dan tidak biasa bagiku. Apa boleh buat, baju panjang dan jilbabku belum banyak, mengingat baru hari ini aku mengenakan jilbab. Tak mungkin juga kukenakan pakaian ibuku yang sudah ketinggalan zaman. ‘Plis, deh!’ gerutuku dalam hati.
“Kok senyum saja, Za? Kenapa, sih?”
“Ga, aku heran saja, kenapa ya, kamu tuh ga bosan-bosan sama warna oranye? Tuh lihat! Jilbab, baju, sepatu, tas, sampai jam tangan, semuanya warna oranye!”
Aku hanya tertawa mendengarnya. Mana mungkin aku bosan dengan warna kesukaanku sejak kecil. “Kukira kenapa! Jadi, bagaimana penampilanku?” Ulangku. Ia lipat kedua tangannya di depan dada, seraya memicingkan sebelah matanya. “Cantik. Lebih cantik dari biasanya. Ini baru… penampilan seorang wanita muslim!” Jawabnya.
Aku tersipu.
Regiza mungkin memang bukan seorang wanita muslim. Ia seorang beragama katolik yang taat. Namun, ia sangat santun dan mampu menghormati orang yang berlainan agama. Ia bahkan, dengan tulus, mendukung mereka untuk menjalankan kewajiban agama mereka. Ya, sama seperti saat ini. Subhanallah.
“Jadi? Sudah siap masuk kelas?” Tanyanya dengan kedua alis terangkat.
Aku mengangguk mantap. Kutarik otot-otot pipiku, siap menebar pesona, mengumpulkan garis-garis senyuman di seantero kampus. Yeah! Meskipun sudah berhijab, aku harus tetap eksis. Lalu, kami pun melangkah meninggalkan ‘markas’ pribadiku itu.
“Alya? Lo Alya kan?” Tanya seorang teman kelas kami. Radith.
Aku mengangguk, dan berusaha memberikan senyuman terbaikku. ‘Target pertamaku hari ini’ batinku.
“Aha..ha..ha..ha.. Lo salah minum obat ya? Atau kesambet jin Arab? Ha..ha..ha..ha..” Ejeknya. Ia tertawa terbahak-bahak sampai wajahnya memerah bak tomat busuk, sambil memegangi perut gembulnya. Regiza hanya bisa tersenyum.
Tunggu, skenarionya tidak seperti ini. Harusnya, ia terpesona dengan penampilan baruku. Ini tidak benar. “Memangnya ada yang salah ya?” Tanyaku kesal. Dengan susah payah, Radith berusaha menghentikan tawanya. “Bagus sih, sebenarnya. Cuma gue kaget saja, tiba-tiba lo berubah begini. Biasanya kan lo suka pakai baju yang agak-agak menggoda iman.”
“Habis, aku malu. Mamaku berjilbab. Adik perempuanku, Afni, sudah dua tahun mondok di pesantren. Masa’ aku ga pakai jilbab juga. Gengsi dong!”
“Woles, non.. ayo dong masuk kelas..” Ajak Radith, sambil menarik tangan kananku. Sedangkan Regiza, mengekor di belakangku.
Sesaat setelah kami memasuki ruang kelas, bagaikan sekelompok mahasiswa paduan suara, terdengarlah seruan yang tak kalah kompak dengan supporter bola di stadion Gelora Bung Karno. “Subhanallah!! Alya sudah taubat, rupanya!” Seru seluruh temanku yang sudah duduk manis di kursi mereka masing-masing. Langit runtuh saat itu juga.
Kondisi ini semakin memburuk saat Radith menambahkan dengan gaya dan intonasi yang ‘melambai’, “Sesuatu banget deh, Ya!” kemudian, mereka semua tertawa menang. Mereka menertawaiku!
Astagfirullah, siapa dalang dibalik semua ini? Siapa? Harusnya mereka memujiku, bukan mengujiku dengan entah apa namanya ini. Skenarioku GAGAL TOTAL. Aku tidak pernah diejek sebelumnya, aku selalu di-pu-ji! Oh! Ingin rasanya aku berlari keluar kelas dan menangis sejadi-jadinya. Tapi sepertinya, nasib baik sedang bosan berpihak padaku hari ini. Sosok dosen tergahar di kampus ini, Pak Anton, sudah bertengger di depan pintu kelas dan menebar sorotan mautnya mengitari kelas yang gaduh ini. We’re dead.
.ᵴ.
Pagi ini aku terbangun dari tidurku dengan perasaan jengkel bukan main. Bukan hanya dipermalukan di depan kelas. Karena kondisi kelas yang gaduh bagaikan pasar burung, pak Anton membombardir kami dengan quiz dadakan dengan kesulitan tingkat dewa, selama dua jam perkuliahan itu. Meskipun, aku mendengar seseorang memasuki kamarku, aku masih enggan membalik badanku, apalagi kalau sampai harus bangkit dari pembaringanku.
“Kak.. Ayo bangun. Sudah siang.” Ujar ibuku, sambil mengusap kepalaku. Aku bergeming.
“Kak, kita kan sudah janji mau mendaftarkan Tito di pesantrennya Afni hari ini. Kasihan kan dia, om dan tante mu itu sibuk cari nafkah sampai tak sempat memperhatikan dia.”
Kali ini aku berbalik, sisi kemanusiaanku terpanggil.
Ibuku tersenyum, lalu mengusap kepalaku. “Anak baik. Mari bersiap. Kerudung oranye kesukaanmu sudah ibu siapkan.”
Aku mengangguk. “Terima kasih, mamaku sayang.”
Ia tersenyum, lalu melangkah anggun meninggalkan kamar.
Air yang membasahi tubuhku membawa pergi rasa kesal yang tadi menggelayutiku, membawa kembali semangat juangku yang sempat surut karena kekalahan telak yang kudapat, kemarin. Ya, hari kemarin sudah berlalu. Mungkin tuhan mengujiku di hari pertamaku mengenakan jilbab. Tapi, aku tak akan menyerah. Hari ini aku akan lebih memesona lagi, menebar lebih banyak senyuman di muka bumi. Ya, benar, bukankah senyum itu shodaqoh? Semakin banyak aku tersenyum, atau membuat orang lain tersenyum, maka pahala yang kudapat akan semakin berlipat!
Aku mengangguk-angguk mantap, sambil mematut diri di cermin meja riasku. Sapuan make up tipis sudah kupoles sedemikian rupa di wajahku yang rupawan. Penampilanku sudah hampir sempurna. Aku hanya perlu mengenakan jilbab oranye kesayanganku. Aku yakin, biarpun aku belum pandai membentuknya, aku tetap akan terlihat memesona. Lihatlah buktinya! Pantulan diriku di cermin itu begitu memukau. Maka dengan percaya diri tinggi, aku pun melaksanakan ritual penutupku.
“Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.”
Kemudian, aku terkikik geli. Apa kata ibuku jika ia melihat kelakuan anaknya yang satu ini.
“Alya, kamu sedang apa sih? Kok tertawa sendiri?” Tegur ibuku yang kini berdiri di ambang pintu.
“Tidak ada apa-apa kok, ma. Alya senang saja bisa mengunjungi Afni.”
“Oh.. mama kira kamu kenapa. Oh ya, kerudung adikmu jangan lupa dibawa ya. Mama lupa memasukkannya ke tasnya.”
“Afni minta tolong setrikakan baju lagi?”
“Ya, katanya setrika wali kamarnya sedang rusak, jadi tidak bisa meminjam setrikanya. Yah, kamu kan tau sendiri, peraturan disana. Para santri tidak diperbolehkan membawa barang-barang elekronik.”
“Hmm, tapi kerudungnya yang mana ya?”
“Warnanya sama dengan kerudungmu itu. Nah, itu dia.” Ujarnya seraya menunjuk kerudung oranye yang menggantung di lemari jilbabku.
“Oh, Alya kira, punya Alya. Habisnya, mama taruh di samping kerudung kesayanganku sih.”
Ia tersenyum.
“Ya sudah, maaf. Maklum mama kan sudah berumur.”
Kami tertawa bersamaan. “Ya, mama, nanti Alya bawakan.”
“Mama tunggu di mobil, ya.”
Aku mengangguk.
.ᵴ.
Pemandangan di wilayah pondok pesantren ini selalu mengingatkanku akan kampung halamanku di pelosok Jawa Barat. Rerindangan pohon yang tak kenal lelah menaungi makhluk hidup di sekitarnya, juga, hembusan angin sepoi-sepoi yang menyapunya. Padahal, pondok pesantren ini tidak terletak di pedesaan. Subhanallah.
“Ayo, kita turun! Nanti, setelah beres urusan pendaftarannya Tito, baru kita kunjungi Afni di asrama puteri.” Ajak ayahku seraya membuka sabuk pengamannya.
“Mmh, Alya tunggu di mobil saja deh, pa.” Sahutku dari kursi paling belakang.
“Kak Alya, yakin? Kan di dalam mobil pengap.” Sahut Tito.
“Ya, nanti kalau aku bosan, atau kepanasan, kan bisa tunggu di saung-saungan dekat sini.”
Ayahku menghela nafas.
“Ya sudah, kunci mobilnya papa tinggal. Jangan lupa tutup jendela dan kunci mobil, kalau mau keluar.”
“Siap, bos!”
Ibuku tersenyum, lalu menggeleng, sebelum akhirnya bersama Tito dan ayah, meninggalkan aku sendiri. Benar, sen-di-ri, dan itu berarti..
“AKU BEBAS!!!!!!”
Aku tak akan bisa beraksi dengan ayah dan ibuku dekatku. Tak leluasa menimbun butir-butir pahala yang akan kudapat dari pesonaku ini. Maka, segera kupatut diriku pada cermin kecil yang selalu menunggui saku celanaku, membenahi make up dan jilbabku yang agak berantakan. Tanpa basa-basi lagi, kubuka rangka besi itu dan menguncinya.
Kudengar, pemuda-pemuda alim menyukai wanita yang anggun dan sholehah. Walaupun mungkin, aku belum menjadi wanita sholehah, setidaknya aku bisa menunjukkan bahwa aku adalah wanita yang anggun. Maka, aku pun coba berjalan seanggun mungkin. ‘Siapa tau bisa memikat hati seorang ustadz muda yang tampan.’
Baru beberapa meter aku melangkah, dua garis senyuman sudah berhasil kudapatkan dari dua orang santri putra yang berjalan mendahuluiku.
“Assalamu’alaikum, ukhti” Sapa mereka, masih dengan senyuman.
“Wa’alaikum salam.” Jawabku dengan nada lembut.
‘Awal yang sempurna!’
Mulanya hanya dua, lalu terus bertambah menjadi empat, lima, delapan, sepuluh, dua belas, lalu lima belas. Semakin banyak lagi senyuman yang kudapat, sejalan dengan menit-menit yang berlalu saat aku duduk di sebuah saung kecil dekat kolam ikan. Terlalu banyaknya senyuman yang kudapat, membuatku lupa akan hitungannya. ‘Ternyata mendapatkan pahala dari menebar senyum itu sangat mudah!’ Aku sangat menikmati saat-saat kejayaan seperti ini.
“Assalamu’alaikum, ukhti.” Ujar seorang pemuda seraya menghampiriku.
“Wa’alaikum salam…” jawabku dengan binar cerah di kedua mataku.
‘Tampannya……..! Tuhan benar-benar bermurah padaku hari ini.’ batinku gemas.
“Maaf ukhti, tapi tidak sepatutnya ukhti berada di sini.”
Kalimat itu sukses membuat kerutan di dahiku terpaut, menyatu.
“Maksud ustadz? Saya tidak boleh duduk di sini?”
Ustadz muda itu tertawa kecil.
“Loh, memangnya sudah berapa lama kamu di sini, sampai tidak mengerti peraturan di pesantren ini?”
Mungkin pikiranku terganggu akan ketampannan pemuda di hadapanku, sehingga aku tak mampu mencerna kata-kata yang ia lontarkan dengan baik. Maka, dengan polosnya aku menjawab. “Baru sekitar tiga puluh menit, ustadz.”
Kini, giliran alisnya bertaut.
“Tapi, bagaimana bisa….”
“Alya! Cepat kemari! Kita jalan ke asramanya Afni!” panggil ayahku dari kejauhan, memotong percakapanku dengan sang ustadz tampan.
Helaan nafas kekecewaan pun tak mampu kusembunyikan, “Maaf uztadz, saya harus pergi.”
Aku pun berlalu, meninggalkan sang ustadz tampan dengan wajah keheranan. Sambil menggaruk dahi kananku yang tak terasa gatal, rasa penasaranku muncul. ‘Kira-kira, apa yang ingin dikatakan ustadz itu ya?’
“Hmm, dengan rok itu, kamu terlihat seperti santri yang mondok di sini, kak.” Ujar ibuku dengan garis senyum di wajahnya.
Tunggu, apa mungkin..
Itulah mengapa ustadz tadi bertanya aneh padaku. Aku pun terkikik, tak sanggup menahan geli yang menggelitik perut.
“Ih, kak Alya aneh! Tertawa sendiri tanpa sebab. Seperti orang gila saja!”
“Hei Tito, kamu kan masih kecil. Tidak perlu mengurusi urusan orang dewasa!”
Ia memberengut. Aku gembira.
Beginilah rasanya kembali menjadi puteri cantik yang memesona. Dikelilingi oleh banyak pasang mata yang menoleh dan membalas senyuman manisku. Hanya saja, biasanya aku mungkin hanya seorang puteri iblis, yang tak bosan memamerkan auratnya. Aku pun berjalan perlahan, mengekor pada ayahku, ibuku, dan Tito.
“Kok banyak santriwati yang cekikikan sejak kita lewat ya?” Tanya Tito, memecah lamunanku.
“Ya, mungkin ada hal lucu yang sedang mereka bicarakan.” Jawab ayahku, bijak.
“Tapi aneh, om! Tito perhatikan, mereka tidak tertawa sebelum kita lewati!”
“Sudah, sudah, tidak baik su’udzon sama orang lain! Biarkan sajalah mereka tertawa sesuka hati.” Sahut ibuku.
Sedangkan aku? Aku hanya tersenyum mendengar celotehan anak itu. Sudah jelas bukan? Mereka tertawa karena terpesona melihatku. Mereka senang kedatangan tamu yang cantik jelita sepertiku. Ternyata pesonaku tidak hanya terpancar bagi kaum adam, tapi juga pada kaum hawa, yang mungkin, menyimpan rasa iri akan kerupawananku ini.
.ᵴ.
“Kak Afni, aku heran deh! Masa’ dari tadi kami lewat, banyak santriwati yang menertawai kami!” Seru Tito, lagi, pada Afni.
Afni selesaikan suapan terakhirnya. Lalu meminun seteguk air mineral.
“Ah, mungkin itu cuma perasaan kamu saja, To.” Jawabnya.
“Iya, Afni benar, To. Kamu saja nih yang ke GR-an!” Sambungku seraya membantu ibu, merapikan bekas makan kami.
Tito mendengus. “Aku serius, kak! Laki-laki kan tidak seperti perempuan yang lebih mengandalkan perasaannya! Tito punya alasan logis kok!”
“Ya, ya. Alasan yang tadi itu, kan? Dari pada berisik begitu, lebih baik bantu kami buang sampah ini ke tong sampah.”
Aku pun menyodorkan sebungkus sampah padanya, sambil tersenyum licik.
“Akan Tito buktikan, bahwa dugaan Tito itu beralasan!”
Ia pun menghentakkan langkahnya karena jengkel. Aku tersenyum menang, sambil menopang dagu pada meja yang kami gunakan. Tak lama kemudian, ia kembali dan berdiri mematung di belakangku.
“Kak Afni, Tito boleh Tanya sesuatu?”
Afni mengangguk cepat. “Memangnya Tito mau tanya apa?”
“Language Indiscipline Student, apa artinya?”
“Mmh, Murid yang melanggar disiplin bahasa. Kira-kira artinya seperti itu. Memangnya kamu dapat dari mana kalimat seperti itu?”
Ia kemudian tersenyum lalu tertawa terpingkal-pingkal sambil berjongkok dan memegangi perutnya.
“Kok malah tertawa? Tau dari mana kalimat seperti itu?”
“Dari situ!” jawabnya sambil menunjuk kearahku. “Dari tulisan hijau di belakang jilbabnya kak Alya!”
Jawaban itu datang bak guntur yang menyambarku. Sontak kutarik sisi belakang jilbab yang kukenakan, ada tulisan hijau yang tak seharusnya ada di sana. Sementara Afni ikut tertawa, gelagapan, kubuka tas selempangku dan menarik jilbab oranye di dalamnya. Jilbab oranye itu mulus, tanpa ada warna lain sedikitpun.
“Kak Alya, yang kakak pakai itu kan jilbab yang kuminta tolong mama untuk disetrikakan! Minggu lalu, Afni dihukum untuk memakai jilbab itu selama tiga hari, karena tertangkap basah menggunakan bahasa Indonesia!”
Tanganku bergetar hebat. Jadi.. jadi sedari tadi, akulah yang para santri tertawai? Jadi, mereka tersenyum dan menegurku bukan karena pesonaku tapi karena jilbab sial ini? Tunggu, berarti, yang mungkin ingin dikatakan ustadz tampan itu…
“Tapi, bagaimana bisa kamu dihukum mengenakan jilbab itu, padahal kamu baru ada di pesantren ini selama tiga puluh menit?!”
Sekali lagi, langit terasa runtuh, menimpaku. Rasa malu yang tak tertahankan membungkamku hingga perjalanan kembali ke rumah. Hingga ibuku mengusap pelan kepalaku sambil menarikku dalam pelukannya.
“Alya, masa awal mengenakan jilbab memang mungkin terasa berat. Terutama, lingkungan sekitarmu yang kurang mendukung. Tidak seperti Afni, atau mama, yang mengawali berhijab sejak kami mondok di pesantren. Tapi mama yakin, Alya, anak mama yang cantik ini, tidak akan menyerah begitu saja pada gengsi atau rasa malu.”
Ya, ibuku benar. Mungkin, sejak kemarin, aku hanya memikirkan kesan orang lain padaku saat melihat perubahan ini. Tapi, mengapa aku harus peduli? Bukankah berhijab memang perintah Allah? Tuhan yang telah memberikan aku kehidupan di dunia ini. Tuhan yang telah begitu banyak memberiku nikmat-Nya. Astagfirullah, maafkan aku ya Rabb. Aku berjanji, sejak helaan nafas ini, akan kuubah niatku. Semula, mungkin, aku berhijab karena orang lain, tapi kini, aku akan berhijab karena-Mu. Hanya untuk mendapatkan senyum-Mu, bukan untuk mengumpulkan senyuman manusia, atau makhluk lain.
SELESAI
Tangerang Selatan, 22 0812-11:45
-Shafia Asy Syifa-
Jumat, 06 Juli 2012
Jerat Xesbeth (Fantasi Fiesta 2012) REVISED VERSION
Jerat Xesbeth
Oleh Shafia Asy Syifa
Segala yang dapat kau lihat,
Palsu.
Sedangkan yang tak dapat kau lihat,
Nyata.
Penglihatanmu dibuatnya buta.
Beritahu aku, bagaimana rasanya,
Melihat yang bukan sebenarnya,
Namun akhirnya, merasakan hal sebaliknya.
*****
Aku bukanlah seorang yang percaya akan hal-hal gaib dan semacamnya, biarpun anehnya, aku mempercayai adanya Tuhan. Satu-satunya alam selain alam nyata yang kupercayai hanyalah alam bawah sadar yang ditempati oleh mental atau jiwa seseorang. Tapi, aku menghargai kepercayaan sebagian orang tentang adanya alam gaib dan tidak pernah melarang seorangpun untuk berhenti mempercayainya. Aku tidak peduli. Lagi pula, apa yang bisa didapat oleh seorang psikolog dengan mempercayai hal-hal tidak penting seperti itu.
Dua minggu pertamaku menjabat sebagai seorang staf konseling di sebuah sekolah dasar bertaraf internasional, berjalan mulus tanpa hambatan yang cukup berarti. Semua permasalahan siswa di sekolah ini masih dalam tahap wajar. Hingga akhirnya, tahap observasiku memasuki kelas tiga.
Saat itu bel istirahat telah berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk bermain dan membeli makanan serta minuman, kecuali seorang anak yang bernama Erick. Ia tidak beranjak dari kursinya. ‘Ia pasti membawa bekal. Mungkin ia tidak diizinkan untuk makan sembarang makanan.’ Pikirku. Namun, alih-alih mengeluarkan bekalnya, ia keluarkan sebuah sketch book beserta cat air dan perlengkapan lukis lainnya, sebelum kemudian mulai melukis. Hal itu menarik perhatianku.
“Kenapa ia tidak pergi keluar kelas seperti anak-anak lain atau memakan bekalnya?” tanyaku pada guru kelasnya.
“Tidak perlu cemas. Dia memang tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, tapi nilainya tetap bagus.” Jawab ibu Tari dengan santainya.
“Sejak kapan?”
“Sekitar dua tahun yang lalu, sejak orangtuanya bercerai.” Jawabnya sambil melahap roti isi di hadapannya. Seolah-olah sikap Erick tidak membutuhkan atensi lebih.
Dengan sedikit geram di dada, kuhampiri anak tampan berambut hitam pekat yang sedang bermain dengan imajinasinya itu. “Hai, sedang apa?” tanyaku.
“……” Ia tak menjawab. Masih menggeluti lukisannya.
“Saya miss Kania, atau kalau kamu keberatan, kamu boleh panggil saya kak Kania. Namamu Erick, kan?”
“……” Lagi-lagi aku diperlakukan seperti Jin yang tak kasat mata. Ia tak bereaksi sedikitpun.
“Ehm, sedang melukis apa?”
“……”
Kuhela nafas perlahan sambil mencari jalan keluar. Kuambil secarik kertas HVS dari lemari, lalu duduk disebelahnya.
“Boleh saya ikut melukis?” Kali ini ia menoleh dan menyodorkan cat airnya padaku. Kami pun melukis sampai bel kembali berbunyi.
Aku tahu, ia tidak bisu. Namun, belakangan, kuketahui bahwa Erick mulai berhenti berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya semenjak ia mulai melukis lukisan itu. Gambaran tentang sebuah tempat yang luar biasa indah dengan beragam tumbuhan dan makhluk yang indah pula. Ia selalu melukis dengan tema yang sama, menggambarkan detil-detil tempat menjadi karya yang berkonsep luar biasa. Lukisan tentang sebuah negeri lain yang mungkin hanya ada di imajinasinya saja.
*******
Sebulan sudah kupantau dan coba untuk menterapinya, tapi hasilnya hampir nihil. Ia hanya bereaksi saat aku melukis bersamanya. Tapi satu hal yang kupahami, ia kesepian dan membutuhkan teman. Oleh karenanya, ia tidak pernah menghindariku. Walaupun masih, tak juga mengeluarkan sepatah kata pun padaku
Selama itu pula, aku masih belum menemukan benang merah antara kedua sebab ‘kebisuannya’ itu. Perceraian orangtuanya, dan lukisan-lukisan itu. Akhirnya aku pun sampai pada sebuah keputusan. Aku perlu mengunjungi rumahnya (melakukan home visit) untuk mengumpulkan data yang lebih terprinci.
Rumah tempat ia tinggal merupakan sebuah rumah bernuansa putih yang berdiri di atas lahan seluas dua ratus hektar. Rumah itu bergaya Eropa dengan empat patung besar sebagai pilarnya. Empat anjing herder dan dua orang satpam bertubuh kekar menjaga gerbangnya.
“Nyonya besar minta maaf karena tidak bisa menemui ibu Kania. Ada kepentingan yang tidak bisa ditunda, katanya. Nyonya juga sangat berterimakasih atas kunjungan Ibu Kania dan meminta saya membatu ibu, sebaik mungkin.” Ujar seorang wanita paruh baya berpakaian kasual.
“Silakan duduk. Oh ya, maaf, ibu mau minum apa?” sambungnya.
“Apa saja, yang penting minuman hangat.” Pintaku. Kebetulan, cuaca petang ini sangat tidak mendukung. Sekelompok awan Cumulonimbus sudah bertengger di kawasan sekitar rumah ini.
“Kalau ada yang mau ibu ketahui, silahkan tanyakan pada saya. Kebetulan, saya ini kepala pelayan yang merangkap sebagai pengasuh den Erick sejak lahir.” Tawarnya, setelah memerintahkan pelayan lainnya untuk membuatkan minuman.
Setelah berbasa-basi sedikit tentang Erick, aku pun menanyakan inti dari benang kusut pemasalahan ini. Kuteguk cokelat panas yang dihidangkan padaku. Kuputar otakku, mencoba menemukan pertanyaan yang tepat.
“Mmh, apa Erick pernah berinteraksi dengan ibunya atau orang-orang yang ada di rumah ini, sejak dua tahun yang lalu?”
Wanita itu menggeleng, lesu.
“Sama sekali?”
“Ya, tidak sama sekali. Den Erick hanya mengangguk atau menggeleng untuk menjawab pertanyaan kami.”
“Apa anda tau penyebabnya?”
“Entahlah, tapi semenjak den Erick kembali, setelah ia menghilang dari kamarnya di suatu malam. Ia membisu.”
“Menghilang?” Ini detil penting baru yang kudengar.
“Ya, hal itu terjadi tanpa sepengetahuan nyonya. Kebetulan, saat ia sedang dinas di luar negeri den Erick menghilang. Kami mencarinya keseluruh penjuru rumah, tapi tak juga kami temukan. Hanya sesaat sebelum saya memutuskan untuk melaporkannya pada nyonya besar, den Erick kembali ditemukan, terbaring lemah di lantai kamarnya.”
“Boleh saya lihat kamarnya?”
Ia mengangguk. Lalu membimbingku menaiki tangga pualam.
Kamar Erick sangat luas, dengan segala fasilitas di dalamnya. Kamar ini semakin mencolok dengan sebuah foto berukuran super besar di depan tempat tidurnya. Foto ia bersama ibunya di depan menara Eiffel “Foto tahun lalu” ujarnya. Saat itu, Erick tertidur di ranjangnya.
“Pintu apa ini? Boleh saya buka?” Tanyaku pada si pelayan, saat melihat sebuah pintu di sudut ruangan.
“Ini pintu balkon, silahkan.” Ia buka pintu itu, dan segera menutupnya kembali karena angin kencang yang mendorongnya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara debam keras dari luar kamar. Sontak, kami pun bergegas keluar kamar. “Maaf bu Kania, saya tinggal dulu. Ibu silahkan melihat-lihat sekitar.” Aku mengangguk, lalu kembali memasuki kamar.
Namun, saat kembali kumasuki kamar itu, Erick sudah tak lagi ada di tempat tidurnya. Secarik kertas gambar menggantikannya.
‘JANGAN IKUTI AKU’ bunyi tulisannya. Tubuhku bergetar.
‘Apa yang sebenarnya terjadi pada anak tak berdosa ini.’ Batinku.
Kucari ia di sekitar kamar. Ia tidak mungkin meninggalkan kamar ini, karena tadi aku berdiri tepat di depan pintunya. Satu-satunya jalan keluar lain hanya balkon yang kini pintunya menejeblak terbuka, sehingga angin kencang dan tampias air hujan memburu masuk. Dengan gemetar hebat di sekujur tubuh, kulawan arah angin itu dan tergelincir entah ke mana.
******
Paru-paruku dipenuhi air, nafasku sesak. Yang bisa kurasakan hanya air di mana-mana, sampai sesosok makhluk mengeluarkanku. Ia rebahkan aku di atas rumput selembut kapas. Aroma wangi pun mulai tercium. Samar-samar kudengar suara-suara yang tak dapat kumengerti. Hingga, ia mengalungkan sesuatu dileherku.
“Hei, kau bisa mengerti ucapanku, makhluk tanah?” Tanyanya, sambil menepuk-nepuk pipiku dengan tangan kecilnya. Kukerjapkan mata perlahan. Di depan wajahku, melayang sesosok wanita cantik yang tak lebih besar dari seorang bayi baru lahir. Aku terperanjat, terduduk mundur menghindarinya.
Aku pasti sedang bermimpi. Bermimpi melihat makhluk juga tempat yang dilukiskan Erick di setiap lembar Sketch book-nya. Bentangan padang bunga berwarna-warni yang menglilingi sebuah sungai berair jernih. Tak jauh dari tempatku duduk, terhampar hutan tropis dengan paduan warna cokelat, hijau, beserta warna-warna indah lainnya. Kutepuk pipiku kencang-kencang, sakit. Lalu kuberanikan diri mencubit pipi makhluk menggemaskan itu di hadapanku.
“Ouch! Apa masalahmu?!” Protesnya sambil mengusap-usap pipinya. “Kau gila ya, melompati air terjun setinggi tiga ratus ribu kepak sayap!”
“Makhluk apa kau ini? Dimana saya?”
“Pengetahuan makhluk tanah memang dangkal sekali. Bagaimana bisa kami mengenal kalian, tapi kalian tidak mengenal kami? Namaku Gael. Aku penjaga gerbang dimensi ini. Kau?”
“Kania. Bisakah kau berhenti memanggil saya makhluk tanah? Risih.” Protesku.
“Bukankah kalian memang diciptakan dari tanah?”
“Menurut kitab memang begitu, tapi…”
“Sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kau jawab, bagaimana bisa kau masuk ke sini?”
“Saya tidak tahu persis. Tadi, saya mencari, Erick. Tunggu..”
“Oh, tidak, kemana dia pergi? Saya harus segera menemukannya!” Seruku seraya mulai mencarinya, berlari tak tentu arah.
“Hei, makhluk tanah, tunggu! Percuma saja kau mencarinya! Lebih baik kita sembunyi sebelum akhirnya aku bisa mengeluarkanmu dari sini!”
Kuhentikan langkahku saat itu juga, dan hal itu membuat Gael menabrak wajahku. “Apa maksudmu?” tanyaku. Tapi, sayangnya, belum sempat ia menjelaskan apapun kepadaku, terdengar suara riuh rendah, mendekat.
“Oh, tidak Inilah alasan mengapa aku benci makhluk tanah. Kepanikan mereka mengacaukan segalanya. Cepat ikuti aku.” Bisiknya, sambil terbang ke arah semak tanaman bunga berwarna ungu. Kami merunduk bersama.
“Ada apa, Jendral Zeth?” Tanya sesosok makhluk tampan, bertubuh tinggi besar dengan pakaian bak prajurit Romawi, dengan suara berat, serak.
“Bau daging busuk, Pangeran!” Jawab sesosok unicorn bertanduk merah. Sontak kuendus tangan mungil Gael. Harum.
Ia mendengus kesal.
“Yang ia maksud itu, kau, bodoh!” desisnya geram. Aku mengerenyit.
Entah sejak kapan mereka bergerak, tiba-tiba saja kami sudah terkepung oleh makhluk-makhluk indah itu. Peri bunga, roh pohon, harimau putih, merpati putih, Unicorn, dan banyak lagi yang lainnya, berdiri mengitari kami. Hening. Aku terkesima.
“Jangan terlalu senang, yang kau lihat ini bukanlah kenyataan. Sebentar lagi, pendar di matamu akan berubah muram.” Bisik Gael ditelingaku.
Saat itu juga, tanah tempat kami berpijak bergetar hebat. Seiring dengan mantra aneh yang diucapkan oleh gerombolan makhluk-makhluk yang mengitari kami. Perlahan-lahan, pemandangan di sekitarku seakan meleleh. Padang bunga dan hutan tropis yang tadi kulihat, menjadi kering kerontang, tanpa sedikitpun warna cerah disana. Aliran sungai pun mengering, dan menyisakan ceruk panjang dan dalam seperti jalur ular raksasa.
Makhluk-makhluk indah di sekitar kami juga berubah, menjadi makhluk-makhluk mengerikan. Sang pangeran tampan, berubah menjadi monster bertaring tajam, dan Jendral unicorn itu berubah menjadi tengkorak kuda bertanduk merah menyala.
Tubuhku bergetar hebat. Perlahan, gerombolan itu menyingkir, memberi celah. Di tengah celah itu, muncul sebuah pohon hitam teramat besar. Akar-akarnya melilit kedua tangan dan kaki seorang anak kecil berambut hitam pekat. Erick. Sendi-sendi lututku melemah, tubuhku bergetar hebat, tak kuasa menopang beban tubuhku, aku terduduk, lemas.
“Sudah ku bilang jangan ikuti aku!! Kenapa kakak tidak menurut! Kenapa? Bertahun-tahun kucoba untuk menyembunyikan semua ini…”
“… sekarang lihat apa yang telah kakak perbuat! Jika bukan karena kakak, saat ini aku masih bisa bermain dengan pangeran Tarvarian dan Jendral Zeth, juga teman-teman lainnya. Kakak jahat! Jahat!” Jeritnya, dengan deraian air mata.
Sorot mata dan getar suaranya menyiratkan rasa takut, marah dan kecewa. Aku tergugu, entah bisa berkata apa. Air mataku mengalir begitu saja karena penyesalan yang amat sangat. Tak pernah sekali pun aku bermimpi, mencelakai anak bimbinganku sendiri. Jika semua ini hanya mimpi, ingin rasanya segera terjaga. Ironisnya, semua ini nyata.
Baru kucoba menggerakkan tubuhku untuk mendekatinya, makhluk-makhluk di sekitarku segera menghalangi. Dengan sigap Gael meraih tanganku dan menarikku menjauh dari kerumunan itu. Tangannya yang bebas mengeluarkan cahaya menyilaukan dan membuat sebuah lubang di permukaan tanah. Ia dorong aku masuk kedalam lorong cahaya itu sambil berseru, “Maaf makhluk tanah. Saat ini tak ada yang bisa kau perbuat untuk menolongnya, kau harus kembali ke dimensimu. Jika saatnya tiba, akan kubukakan kembali pintu dimensi ini untukmu. Saat bandul kalung di lehermu berpendar, kau akan kutarik masuk kesini. Karena sesuatu yang sudah kau mulai, harus bisa kau akhiri. Bersiaplah.”
******
Kepalaku sakit bukan main, kupegangi ia dengan kedua tanganku. Untunglah tempat aku terbaring terasa nyaman.“Ibu Kania baik-baik saja?” Tanya sebuah suara di sampingku. Kubuka mata perlahan. Aku terbaring di atas kasur di kamar Erick.
Kutegakkan diri, perlahan, masih dengan sebelah tangan menyangga kepala. Tunggu, apa tadi aku hanya bermimpi? “Dimana, Erick?” Tanyaku pada pelayan di sampingku. Ia mengerenyit. “Maksud ibu?”
“Saya ingin bertemu Erick, sekarang.” Tegasku. Pelayan itu bertambah bingung. Kemudian, ia menghela nafas.
“Kalau memang itu yang ibu butuhkan untuk penulisan jurnal tentang den Erick, mari ikuti saya.”
‘Jurnal. Jurnal apa yang ia maksud?’ batinku.
Kuikuti ia perlahan meninggalkan ruangan. Namun, belum sempat kami pergi, satu pemandangan janggal menahan langkahku. Foto Erick dan ibunya yang menggantung di dinding kamar itu, berubah. Hanya tinggal foto ibunya, berdiri sendiri di depan menara Eiffel.
Menyadari kebisuanku, si pelayan berdehem. Aku pun kembali mengekor.
Wanita itu mengajakku melintasi pekarangan belakang rumah tersebut. Melintasi taman seluas tiga ratus meter dan berbelok ke sebuah lahan yang dibatasi pagar berwarna putih gading. Ia bimbing aku memasuki area tersebut, sampai pada sebuah pusara pualam berpahat nama, Erick Mulya Pradana.
Sendi-sendiku melemas.
“Kebetulan, hari ini tepat dua tahun meninggalnya den Erick akibat kecelakaan mobil. Walau bagaimanapun juga, den Erick tetap ada dihati kami.”
Ini tidak benar. Erick belum meninggal. Aku menggeleng tak percaya. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Kuusap wajah dan leherku. Ada sebuah kalung berbandul batuan langka melingkari leherku.
“Ada apa, bu?”
“Ehm, tidak apa-apa. Saya kira kunjungan kali ini cukup. Terima kasih banyak.” Aku melangkah keluar dengan limbung. Segala hal yang terjadi hari ini benar-benar membuatku bingung, tak mampu kecerna dengan otak logisku yang picik.
*******
Keesokkan harinya, hal aneh kembali kutemui. Semua data tentang Erick sejak kelas dua, hilang begitu saja. Bahkan namanya menghilang dari daftar hadir di kelasnya. Semua orang berkata persis sama dengan pelayannya. Erick sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu. Hanya beberapa bulan setelah orangtuanya bercerai.
Butuh waktu berhari-hari bagiku hingga akhirnya aku sampai pada sebuah kesimpulan yang tak ingin kupercayai. Semua itu benar-benar terjadi, dan hanya aku yang menyadarinya. Semua keanehan yang terjadi di dunia ini terpengaruh dengan apa yang terjadi di dimensi asing itu.
Bayang-bayang Erick yang menjerit pilu menghantuiku setiap waktu. Jika kenyataan bisa kuubah, lebih baik aku saja yang terjebak disana. Biar aku saja yang menanggung penderitaannya. Bayangkan, seorang anak harus menarik diri dari dunia sekitarnya selama lebih dari setahun, hanya untuk menyembunyikan keberadaan dimensi lain yang terlarang.
Akhirnya, kini aku mengerti alasan Erick melukis dengan tema yang sama setiap hari. Jauh di dasar hatinya, ia pastilah ketakutan. Melalui lukisan itu, ia berharap ada seseorang atau keajaiban yang bisa membebaskannya. Meskipun mungkin ia tidak menyadarinya.
Seminggu sudah Erick terjebak disana. Kupegangi kepalaku yang terasa berat sejak saat itu, dengan mata terpejam. ‘Waktumu hampir tiba. Bersiaplah.’ aku terkesiap, suara Gael terdengar begitu dekat. Bandul kalung di leherku berpendar menyilaukan. Anak tangga yang sedang kududuki mulai bergetar dan runtuh satu per satu, hingga akhirnya aku ikut tersedot kedalam pusaran kegelapan yang dingin dan mencekam.
******
“Kau baik-baik saja, makhluk tanah?” Tanya Gael setelah aku mendarat dengan sangat tidak sukses, “Menurutmu bagaimana?” seruku dari atas pohon seraya mencoba meloloskan diri dari batang pohon yang menghimpitku, kemudian jatuh ke tanah berdebu panas. Gael terbatuk.
“Bisakah kau mendarat dengan cara yang lebih cantik?”
“Bisakah kamu membukakan pintu dimensi di daratan? Dua kali saya kemari, dan dua kali juga saya terjatuh dari tempat tinggi! Beruntung kali pertama saya kemari, saya terjatuh kedalam air.”
“Oh, maaf kalau begitu. Sayangnya, saat kau datang, tidak ada gerbang darat yang aman dari Barbazos dan Orcka… ”
“Siapa mereka?”
“Iblis yang merasuki pangeran Tarvarian dan jendral Zeth.” Ya, aku ingat, dua makhluk indah yang menjelma menjadi iblis itu.
“Lagipula…” sambung Gael, “Kau tidak benar-benar terjatuh kedalam air saat pertama kau datang kesini.”
“Maksudmu?”
Gael menatap berkeliling. “Dimensi ini, sudah seperti ini jauh sebelum Erick muncul.”
“Tapi, saya benar-benar merasa...” potongku tak percaya, sebelum Gael menarikku menyusuri hutan gersang dengan batang-batang pohon yang mulai terbakar akibat suhu yang teramat tinggi.
“Maaf, tapi kita tak punya banyak waktu,” ujarnya dengan wajah berpendar. “Ada apa?” tanyaku kebingungan.
“Saat Xesbeth semakin kuat, maka aku akan semakin melemah. Ia akan mampu membuka pintu dimensi ini sesuka hatinya, mengambil jiwa makhluk tanah dan meemperkuat dirinya. Hingga akhirnya ia mampu menguasai dimensi manapun.” Jawabnya sampai akhirnya kami tiba di sebuah tempat yang dikelilingi tebing-tebing hitam, runcing. Dengan bingung, kuikuti ia, menaiki undakan di kaki tebing tersebut. Ia sodorkan sebuah busur panah lengkap dengan anak panah yang baru saja ia sihir.
“Bidik bayangan diatas sana. Ia adalah arwah dimensi ini. Jika kau mengenainya, kau akan temukan jawaban atas setiap pertanyaan.” Ia tunjuk sebuah bayangan yang berubah-ubah bentuk, di puncak tebing.
“Tapi saya tidak bisa memanah!”
“Dengarkan baik-baik, kau hanya punya dua kesempatan. lebih dari itu, ia akan pergi. Jika kau tidak mendapat jawabannya, maka kau tidak akan bisa melewati tebing ini dan tak pernah bisa menyelamatkan Erick.”
Aku tak punya banyak pilihan, pendar di wajah Gael semakin cepat. Ia melemah. Dengan tangan beregetar hebat, kubidik bayangan bergerak itu. Anak panah pertamaku melesat, dan meleset. Kubidik lagi bayangan yang kini seperti menatapku, geraknya melambat. Bayangan wajah Erick pun menghantuiku. “Percayalah pada anak panahmu.” Ujar Gael. Kutarik nafas perlahan. Kupejamkan mata, lalu kutatap bayangan itu, tajam. Kulepaskan anak panahku, ia melesat cepat, lalu, mengenainya. Seketika itu juga kegelapan menelanku.
Ia tumbuh di dimensi kami, tanpa kami sadari
Bibit iblis bernama Xesbeth, si Pembohong,
Ia hisap sari kehidupan dimensi ini
Ia rasuki setiap makhluk di sini,
kecuali sang penjaga gerbang, sebab ia tak mampu melihatnya.
Ia menjadi sempurna saat seorang makhluk tanah murni menjadi temannya,
Sebelum kemudian menjadi mangsanya dengan dalih pengkhianatan.
Hanya seorang makhluk tanah lain berhati tulus yang mampu mengalahkannya,
dengan menyentuh wajah si mangsa dengan tangannya yang berlumur darah pengorbanan.
Itu pun, sebelum ia benar-benar melumat habis mangsanya.
Di balik tebing ini, segala hal dapat terjadi,berhati-hatilah.
Aku kembali di tempatku berpijak tadi. Tebing tinggi dihadapanku bergeser. “Siapkan panahmu! Jangan takut, mereka tidak dapat menyentuhmu selama Erick masih hidup. Incar inti merah di tubuh mereka!” Seru Gael. Aku pun melangkah menembus kabut tebal di hadapanku dengan Gael yang masih berpendar di sampingku.
Disana, pasukan iblis yang dikepalai Barbazos menghadang kami. Kuarahkan anak panahku pada Barbazos, tepat mengenai inti merahnya. Satu per satu kulesatkan anak panah pada pasukan itu dengan mantap. Sebagian dari mereka tumbang, sebagian lagi mencoba menyerang balik dengan senjata mereka. Satu pukulan gada mengenai kaki kiriku, kakiku kebas, sakit luar biasa. Mungkin tulangnya patah. Entahlah. Iblis berbentuk banteng raksasa berkaki beruang berdiri di hadapanku, siap memukulkan lagi gadanya. Gael menarikku menjauh. “Bodoh! Jangan buang-buang waktu! Cepat seberangi jembatan itu! Erick ada di seberang sana. Aku dapat melihatnya! Kita belum terlambat!” Serunya sambil menarikku dengan sekuat tenaga.
Kuambil sebongkah batang kering untuk menyangga tubuhku. Tergopoh-gopoh kucoba berlari menyeberangi jembatan di atas jurang gelap itu dengan Gael terbang rendah di sampingku, dan sekelompok iblis yang mengejar kami. “Akan kucegah mereka. Makhluk tanah, kupercayakan Erick dan dimensi ini kepadamu. Selamat tinggal.” Ujarnya seraya berbalik arah. “Tidak! Gael!” seruku. Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba saja ada cahaya menyilaukan di dekatku, sebelum kemudian batuan besar menghantam jembatan dan memutuskannya. Kucoba meraih apapun yang ada didekatku dan menemukan akar berduri, pegangan jembatan itu. Aku berayun hingga tebing seberang dan menghantamnya. Linu. Peganganku mengendur, kurasakan duri besar menyayat kedua telapak tanganku. Darah segar mengalir membasahi lenganku. Tapi, jeritan Erick memudarkan rasa sakitku. ‘Biarpun aku harus mati, aku tak ingin mati sia-sia.’
Kupanjat tebing itu, dengan tambahan goresan di tiap gerakan. Semakin dekat dengan puncak tebing itu, semakin banyak darah mengalir dari tubuhku. Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan, tubuhku memucat. Aku terengah, akhirnya sampai juga aku di permukaan datar. Tak jauh dariku, sebuah pohon hitam besar melilit Erick hingga leher, dengan akarnya. Erick hanya bisa menangis, tak lagi bisa bersuara. Aku tahu, waktuku sempit.
Aku pun merangkak mendekatinya. “Sabar, sayang. Kakak akan menyelamatkanmu.” Bisikku, tersenyum kepadanya. Namun, tentu saja Xesbeth tidak tinggal diam. Ia lilitkan akar-akar besarnya di kedua kakiku. Walaupun, akar-akarnya berasap, mulai terbakar. “Bukankah kau tak kuat menyentuhku sebelum melumat habis Erick?” tantangku. Ia berkeras, begitu juga aku. Kutarik diriku mendekati Erick. Hanya semeter sebelum aku bisa menyentuh Erick, ia lilitkan akarnya di pinggangku. Aku meronta, mencoba membebaskan diri, tangan kananku mencoba menggapai Erick yang kini tertutup hingga mulutnya. Sedikit lagi, hanya sejengkal lagi aku bisa meraihnya, Xesbeth melilitku hingga leher, namun belum mampu meremukkanku. Erick melemah, ia menguat. Aku terus mencoba menggapai wajah Erick walaupun Xesbeth melilitku hingga kepala. Dari sela-sela akarnya kulihat Erick mulai menutup matanya. Aku menangis, putus asa.
“TIDAAAAK!!!” jeritku.
Seketika itu juga akar-akar Xesbeth terlepas sehingga aku bisa menyentuh wajahnya yang bebas. Tapi, sudah terlambat. Erick menghilang bersamanya. Kegelapan kembali menelanku. Aku hanya bisa mendengar isak tangisku sendiri. Semua sia-sia, Erick telah habis oleh Xesbeth, Gael pun mungkin sudah tiada. Tinggal aku yang terjebak di sini sendiri. Tangisku semakin jadi, sampai cahaya kembali menyelimuti tempat ini.
Cahaya yang awalnya hanya berwarna putih, berubah warna, menjadi cahaya yang begitu penuh warna dan terlihat nyaman. Suhu panas yang awalnya kurasakan, berangsur-angsur menjadi sejuk. Sesejuk udara pegunungan yang belum terjamah tangan-tangan curang manusia. Nyeri dan rasa sakit di sekujur tubuhku hilang begitu saja.
“Kakak, kak Kania. Bangun kak.” Seru sebuah suara kecil. Kukerjapkan mataku perlahan. Seorang anak laki-laki duduk disampingku dengan senyuman cerah.
“Erick!” pekikku. Aku terbaring di tepi sungai yang dulu kulihat. Ia mengangguk dan memelukku saat aku duduk.
“Terima kasih.” Bisiknya.
“Kita selamat? Bagaimana bisa?” Tanyaku.
“Kakak menyentuhku tepat pada waktunya.”
Kami tertawa lega.
“Kalian makhluk tanah yang luar biasa. Bagaimana bisa kami membalas jasa kalian?” Tanya pangeran Tarvarian, dengan Gael, Jendral Zeth dan banyak makhluk indah lain di sampingnya.
Kupandangi Erick dan Gael bergantian. Momen seperti ini sangat emosianal. Berat sekali mengutarakan apa yang ada di kerongkongan ini. “Katakanlah apa yang memang harus kau katakan, wahai manusia bijak.” Ujar pangeran tampan itu sambil membungkuk rendah, diikuti oleh rakyatnya.
“Tolong pastikan, tak ada orang lain yang bernasib sama dengan kami.”
Ia mengangguk dan memerintahkan Gael membukakan pintu kembali ke dimensi kami.
“Sekembali kalian ke dimensi manusia, gerbang ini akan kututup selama-lamanya.” Ujar Gael seraya membimbingku bangun.
“Baru kali ini kau menyebut kami manusia.” Sindirku
“Ya, kau harus memiliki kesan baik tentang kami disaat terakhir kan?”
Aku tak tau harus tertawa atau menangis mendengarnya. Kugenggam kalung pemberian Gael di leherku, gemetaran.
“Simpanlah. Setidaknya, kami hidup diingatan kalian, dan benda itu sebagai buktinya.”
Aku tertawa getir, hingga pelukan kecil Gael di tangan kananku memudarkannya. Erick ikut tersenyum, kemudian menarik pelan tanganku, menuntunku menuju gerbang dimensi.
“Selamat tinggal” bisik Erick, sambil melambai, hingga pemandangan di sekitar kami berganti menjadi sebuah tempat nyaman yang sangat kami kenal. Dunia nyata.
SELESAI
Langganan:
Postingan (Atom)