When logic and feeling are crashed.
I just don't know where to base.
Since standing on logic is hurt,
While standing on feeling is too risky.
People always say to base on both.
But, it's not as easy as making a bowl of chicken broth.
~Shafia Asy-Syifa~
260712-11:45
Kitties
Rabu, 22 Agustus 2012
JILBAB ORANYE PENEBAR SENYUM
Tiga puluh menit sudah aku mematut diri di depan cermin
toilet kampus, yang saat ini beralih fungsi menjadi cermin pribadiku.
Sebenarnya itu bukan semerta-merta karena keegoisanku. Salah mereka
sendiri yang tidak memanfaatkan fasilitas ini di saat keemasan seperti
ini. Ya, kau tau persis, bagi seorang pencinta mode, alias tukang
dandan, sepertiku, pengetahuan tentang jam kosong toilet sangatlah
penting. Hal itu berguna untuk memaksimalisasi penampilanku di depan
publik. Maksudku, bagaimana bisa kudapat hasil maksimal jika harus
berdesakkan dengan mahasiswi lain?
Bak tokoh nenek sihir di cerita puteri salju, tanpa peduli bahwa ia mungkin telah muak, kutanya cermin tak berdosa itu untuk kesekian kalinya. “Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau…”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.” Sambung seseorang di belakangku.
“Regiza!” Pekikku. “Ngapain kamu ke sini? Ganggu ritualku saja!” Candaku.
“Memangnya tiga puluh menit masih kurang, non?”
“Kurang, sebentar…lagi.”
“Dasar tukang dandan! Walaupun sudah berhijab, masih…saja narsis!”
Kami pun tertawa kecil.
“Tapi gimana penampilanku ini? Tetap cantik kan, meski berhijab?”
Ia perhatikan aku dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian tersenyum, tanpa mengatakan sepatah pun kata. ‘Pasti ada yang salah’ batinku cemas. Kuperhatikan lagi pantulan diriku di cermin tersebut. Kerudung langsung pakai atau biasa disebut bergo itu terlihat bagus-bagus saja disandingkan dengan atasan kaos lengan panjang dan blue jeans. Hmm, memang terlalu sederhana dan tidak biasa bagiku. Apa boleh buat, baju panjang dan jilbabku belum banyak, mengingat baru hari ini aku mengenakan jilbab. Tak mungkin juga kukenakan pakaian ibuku yang sudah ketinggalan zaman. ‘Plis, deh!’ gerutuku dalam hati.
“Kok senyum saja, Za? Kenapa, sih?”
“Ga, aku heran saja, kenapa ya, kamu tuh ga bosan-bosan sama warna oranye? Tuh lihat! Jilbab, baju, sepatu, tas, sampai jam tangan, semuanya warna oranye!”
Aku hanya tertawa mendengarnya. Mana mungkin aku bosan dengan warna kesukaanku sejak kecil. “Kukira kenapa! Jadi, bagaimana penampilanku?” Ulangku. Ia lipat kedua tangannya di depan dada, seraya memicingkan sebelah matanya. “Cantik. Lebih cantik dari biasanya. Ini baru… penampilan seorang wanita muslim!” Jawabnya.
Aku tersipu.
Regiza mungkin memang bukan seorang wanita muslim. Ia seorang beragama katolik yang taat. Namun, ia sangat santun dan mampu menghormati orang yang berlainan agama. Ia bahkan, dengan tulus, mendukung mereka untuk menjalankan kewajiban agama mereka. Ya, sama seperti saat ini. Subhanallah.
“Jadi? Sudah siap masuk kelas?” Tanyanya dengan kedua alis terangkat.
Aku mengangguk mantap. Kutarik otot-otot pipiku, siap menebar pesona, mengumpulkan garis-garis senyuman di seantero kampus. Yeah! Meskipun sudah berhijab, aku harus tetap eksis. Lalu, kami pun melangkah meninggalkan ‘markas’ pribadiku itu.
“Alya? Lo Alya kan?” Tanya seorang teman kelas kami. Radith.
Aku mengangguk, dan berusaha memberikan senyuman terbaikku. ‘Target pertamaku hari ini’ batinku.
“Aha..ha..ha..ha.. Lo salah minum obat ya? Atau kesambet jin Arab? Ha..ha..ha..ha..” Ejeknya. Ia tertawa terbahak-bahak sampai wajahnya memerah bak tomat busuk, sambil memegangi perut gembulnya. Regiza hanya bisa tersenyum.
Tunggu, skenarionya tidak seperti ini. Harusnya, ia terpesona dengan penampilan baruku. Ini tidak benar. “Memangnya ada yang salah ya?” Tanyaku kesal. Dengan susah payah, Radith berusaha menghentikan tawanya. “Bagus sih, sebenarnya. Cuma gue kaget saja, tiba-tiba lo berubah begini. Biasanya kan lo suka pakai baju yang agak-agak menggoda iman.”
“Habis, aku malu. Mamaku berjilbab. Adik perempuanku, Afni, sudah dua tahun mondok di pesantren. Masa’ aku ga pakai jilbab juga. Gengsi dong!”
“Woles, non.. ayo dong masuk kelas..” Ajak Radith, sambil menarik tangan kananku. Sedangkan Regiza, mengekor di belakangku.
Sesaat setelah kami memasuki ruang kelas, bagaikan sekelompok mahasiswa paduan suara, terdengarlah seruan yang tak kalah kompak dengan supporter bola di stadion Gelora Bung Karno. “Subhanallah!! Alya sudah taubat, rupanya!” Seru seluruh temanku yang sudah duduk manis di kursi mereka masing-masing. Langit runtuh saat itu juga.
Kondisi ini semakin memburuk saat Radith menambahkan dengan gaya dan intonasi yang ‘melambai’, “Sesuatu banget deh, Ya!” kemudian, mereka semua tertawa menang. Mereka menertawaiku!
Astagfirullah, siapa dalang dibalik semua ini? Siapa? Harusnya mereka memujiku, bukan mengujiku dengan entah apa namanya ini. Skenarioku GAGAL TOTAL. Aku tidak pernah diejek sebelumnya, aku selalu di-pu-ji! Oh! Ingin rasanya aku berlari keluar kelas dan menangis sejadi-jadinya. Tapi sepertinya, nasib baik sedang bosan berpihak padaku hari ini. Sosok dosen tergahar di kampus ini, Pak Anton, sudah bertengger di depan pintu kelas dan menebar sorotan mautnya mengitari kelas yang gaduh ini. We’re dead.
.ᵴ.
Pagi ini aku terbangun dari tidurku dengan perasaan jengkel bukan main. Bukan hanya dipermalukan di depan kelas. Karena kondisi kelas yang gaduh bagaikan pasar burung, pak Anton membombardir kami dengan quiz dadakan dengan kesulitan tingkat dewa, selama dua jam perkuliahan itu. Meskipun, aku mendengar seseorang memasuki kamarku, aku masih enggan membalik badanku, apalagi kalau sampai harus bangkit dari pembaringanku.
“Kak.. Ayo bangun. Sudah siang.” Ujar ibuku, sambil mengusap kepalaku. Aku bergeming.
“Kak, kita kan sudah janji mau mendaftarkan Tito di pesantrennya Afni hari ini. Kasihan kan dia, om dan tante mu itu sibuk cari nafkah sampai tak sempat memperhatikan dia.”
Kali ini aku berbalik, sisi kemanusiaanku terpanggil.
Ibuku tersenyum, lalu mengusap kepalaku. “Anak baik. Mari bersiap. Kerudung oranye kesukaanmu sudah ibu siapkan.”
Aku mengangguk. “Terima kasih, mamaku sayang.”
Ia tersenyum, lalu melangkah anggun meninggalkan kamar.
Air yang membasahi tubuhku membawa pergi rasa kesal yang tadi menggelayutiku, membawa kembali semangat juangku yang sempat surut karena kekalahan telak yang kudapat, kemarin. Ya, hari kemarin sudah berlalu. Mungkin tuhan mengujiku di hari pertamaku mengenakan jilbab. Tapi, aku tak akan menyerah. Hari ini aku akan lebih memesona lagi, menebar lebih banyak senyuman di muka bumi. Ya, benar, bukankah senyum itu shodaqoh? Semakin banyak aku tersenyum, atau membuat orang lain tersenyum, maka pahala yang kudapat akan semakin berlipat!
Aku mengangguk-angguk mantap, sambil mematut diri di cermin meja riasku. Sapuan make up tipis sudah kupoles sedemikian rupa di wajahku yang rupawan. Penampilanku sudah hampir sempurna. Aku hanya perlu mengenakan jilbab oranye kesayanganku. Aku yakin, biarpun aku belum pandai membentuknya, aku tetap akan terlihat memesona. Lihatlah buktinya! Pantulan diriku di cermin itu begitu memukau. Maka dengan percaya diri tinggi, aku pun melaksanakan ritual penutupku.
“Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.”
Kemudian, aku terkikik geli. Apa kata ibuku jika ia melihat kelakuan anaknya yang satu ini.
“Alya, kamu sedang apa sih? Kok tertawa sendiri?” Tegur ibuku yang kini berdiri di ambang pintu.
“Tidak ada apa-apa kok, ma. Alya senang saja bisa mengunjungi Afni.”
“Oh.. mama kira kamu kenapa. Oh ya, kerudung adikmu jangan lupa dibawa ya. Mama lupa memasukkannya ke tasnya.”
“Afni minta tolong setrikakan baju lagi?”
“Ya, katanya setrika wali kamarnya sedang rusak, jadi tidak bisa meminjam setrikanya. Yah, kamu kan tau sendiri, peraturan disana. Para santri tidak diperbolehkan membawa barang-barang elekronik.”
“Hmm, tapi kerudungnya yang mana ya?”
“Warnanya sama dengan kerudungmu itu. Nah, itu dia.” Ujarnya seraya menunjuk kerudung oranye yang menggantung di lemari jilbabku.
“Oh, Alya kira, punya Alya. Habisnya, mama taruh di samping kerudung kesayanganku sih.”
Ia tersenyum.
“Ya sudah, maaf. Maklum mama kan sudah berumur.”
Kami tertawa bersamaan. “Ya, mama, nanti Alya bawakan.”
“Mama tunggu di mobil, ya.”
Aku mengangguk.
.ᵴ.
Pemandangan di wilayah pondok pesantren ini selalu mengingatkanku akan kampung halamanku di pelosok Jawa Barat. Rerindangan pohon yang tak kenal lelah menaungi makhluk hidup di sekitarnya, juga, hembusan angin sepoi-sepoi yang menyapunya. Padahal, pondok pesantren ini tidak terletak di pedesaan. Subhanallah.
“Ayo, kita turun! Nanti, setelah beres urusan pendaftarannya Tito, baru kita kunjungi Afni di asrama puteri.” Ajak ayahku seraya membuka sabuk pengamannya.
“Mmh, Alya tunggu di mobil saja deh, pa.” Sahutku dari kursi paling belakang.
“Kak Alya, yakin? Kan di dalam mobil pengap.” Sahut Tito.
“Ya, nanti kalau aku bosan, atau kepanasan, kan bisa tunggu di saung-saungan dekat sini.”
Ayahku menghela nafas.
“Ya sudah, kunci mobilnya papa tinggal. Jangan lupa tutup jendela dan kunci mobil, kalau mau keluar.”
“Siap, bos!”
Ibuku tersenyum, lalu menggeleng, sebelum akhirnya bersama Tito dan ayah, meninggalkan aku sendiri. Benar, sen-di-ri, dan itu berarti..
“AKU BEBAS!!!!!!”
Aku tak akan bisa beraksi dengan ayah dan ibuku dekatku. Tak leluasa menimbun butir-butir pahala yang akan kudapat dari pesonaku ini. Maka, segera kupatut diriku pada cermin kecil yang selalu menunggui saku celanaku, membenahi make up dan jilbabku yang agak berantakan. Tanpa basa-basi lagi, kubuka rangka besi itu dan menguncinya.
Kudengar, pemuda-pemuda alim menyukai wanita yang anggun dan sholehah. Walaupun mungkin, aku belum menjadi wanita sholehah, setidaknya aku bisa menunjukkan bahwa aku adalah wanita yang anggun. Maka, aku pun coba berjalan seanggun mungkin. ‘Siapa tau bisa memikat hati seorang ustadz muda yang tampan.’
Baru beberapa meter aku melangkah, dua garis senyuman sudah berhasil kudapatkan dari dua orang santri putra yang berjalan mendahuluiku.
“Assalamu’alaikum, ukhti” Sapa mereka, masih dengan senyuman.
“Wa’alaikum salam.” Jawabku dengan nada lembut.
‘Awal yang sempurna!’
Mulanya hanya dua, lalu terus bertambah menjadi empat, lima, delapan, sepuluh, dua belas, lalu lima belas. Semakin banyak lagi senyuman yang kudapat, sejalan dengan menit-menit yang berlalu saat aku duduk di sebuah saung kecil dekat kolam ikan. Terlalu banyaknya senyuman yang kudapat, membuatku lupa akan hitungannya. ‘Ternyata mendapatkan pahala dari menebar senyum itu sangat mudah!’ Aku sangat menikmati saat-saat kejayaan seperti ini.
“Assalamu’alaikum, ukhti.” Ujar seorang pemuda seraya menghampiriku.
“Wa’alaikum salam…” jawabku dengan binar cerah di kedua mataku.
‘Tampannya……..! Tuhan benar-benar bermurah padaku hari ini.’ batinku gemas.
“Maaf ukhti, tapi tidak sepatutnya ukhti berada di sini.”
Kalimat itu sukses membuat kerutan di dahiku terpaut, menyatu.
“Maksud ustadz? Saya tidak boleh duduk di sini?”
Ustadz muda itu tertawa kecil.
“Loh, memangnya sudah berapa lama kamu di sini, sampai tidak mengerti peraturan di pesantren ini?”
Mungkin pikiranku terganggu akan ketampannan pemuda di hadapanku, sehingga aku tak mampu mencerna kata-kata yang ia lontarkan dengan baik. Maka, dengan polosnya aku menjawab. “Baru sekitar tiga puluh menit, ustadz.”
Kini, giliran alisnya bertaut.
“Tapi, bagaimana bisa….”
“Alya! Cepat kemari! Kita jalan ke asramanya Afni!” panggil ayahku dari kejauhan, memotong percakapanku dengan sang ustadz tampan.
Helaan nafas kekecewaan pun tak mampu kusembunyikan, “Maaf uztadz, saya harus pergi.”
Aku pun berlalu, meninggalkan sang ustadz tampan dengan wajah keheranan. Sambil menggaruk dahi kananku yang tak terasa gatal, rasa penasaranku muncul. ‘Kira-kira, apa yang ingin dikatakan ustadz itu ya?’
“Hmm, dengan rok itu, kamu terlihat seperti santri yang mondok di sini, kak.” Ujar ibuku dengan garis senyum di wajahnya.
Tunggu, apa mungkin..
Itulah mengapa ustadz tadi bertanya aneh padaku. Aku pun terkikik, tak sanggup menahan geli yang menggelitik perut.
“Ih, kak Alya aneh! Tertawa sendiri tanpa sebab. Seperti orang gila saja!”
“Hei Tito, kamu kan masih kecil. Tidak perlu mengurusi urusan orang dewasa!”
Ia memberengut. Aku gembira.
Beginilah rasanya kembali menjadi puteri cantik yang memesona. Dikelilingi oleh banyak pasang mata yang menoleh dan membalas senyuman manisku. Hanya saja, biasanya aku mungkin hanya seorang puteri iblis, yang tak bosan memamerkan auratnya. Aku pun berjalan perlahan, mengekor pada ayahku, ibuku, dan Tito.
“Kok banyak santriwati yang cekikikan sejak kita lewat ya?” Tanya Tito, memecah lamunanku.
“Ya, mungkin ada hal lucu yang sedang mereka bicarakan.” Jawab ayahku, bijak.
“Tapi aneh, om! Tito perhatikan, mereka tidak tertawa sebelum kita lewati!”
“Sudah, sudah, tidak baik su’udzon sama orang lain! Biarkan sajalah mereka tertawa sesuka hati.” Sahut ibuku.
Sedangkan aku? Aku hanya tersenyum mendengar celotehan anak itu. Sudah jelas bukan? Mereka tertawa karena terpesona melihatku. Mereka senang kedatangan tamu yang cantik jelita sepertiku. Ternyata pesonaku tidak hanya terpancar bagi kaum adam, tapi juga pada kaum hawa, yang mungkin, menyimpan rasa iri akan kerupawananku ini.
.ᵴ.
“Kak Afni, aku heran deh! Masa’ dari tadi kami lewat, banyak santriwati yang menertawai kami!” Seru Tito, lagi, pada Afni.
Afni selesaikan suapan terakhirnya. Lalu meminun seteguk air mineral.
“Ah, mungkin itu cuma perasaan kamu saja, To.” Jawabnya.
“Iya, Afni benar, To. Kamu saja nih yang ke GR-an!” Sambungku seraya membantu ibu, merapikan bekas makan kami.
Tito mendengus. “Aku serius, kak! Laki-laki kan tidak seperti perempuan yang lebih mengandalkan perasaannya! Tito punya alasan logis kok!”
“Ya, ya. Alasan yang tadi itu, kan? Dari pada berisik begitu, lebih baik bantu kami buang sampah ini ke tong sampah.”
Aku pun menyodorkan sebungkus sampah padanya, sambil tersenyum licik.
“Akan Tito buktikan, bahwa dugaan Tito itu beralasan!”
Ia pun menghentakkan langkahnya karena jengkel. Aku tersenyum menang, sambil menopang dagu pada meja yang kami gunakan. Tak lama kemudian, ia kembali dan berdiri mematung di belakangku.
“Kak Afni, Tito boleh Tanya sesuatu?”
Afni mengangguk cepat. “Memangnya Tito mau tanya apa?”
“Language Indiscipline Student, apa artinya?”
“Mmh, Murid yang melanggar disiplin bahasa. Kira-kira artinya seperti itu. Memangnya kamu dapat dari mana kalimat seperti itu?”
Ia kemudian tersenyum lalu tertawa terpingkal-pingkal sambil berjongkok dan memegangi perutnya.
“Kok malah tertawa? Tau dari mana kalimat seperti itu?”
“Dari situ!” jawabnya sambil menunjuk kearahku. “Dari tulisan hijau di belakang jilbabnya kak Alya!”
Jawaban itu datang bak guntur yang menyambarku. Sontak kutarik sisi belakang jilbab yang kukenakan, ada tulisan hijau yang tak seharusnya ada di sana. Sementara Afni ikut tertawa, gelagapan, kubuka tas selempangku dan menarik jilbab oranye di dalamnya. Jilbab oranye itu mulus, tanpa ada warna lain sedikitpun.
“Kak Alya, yang kakak pakai itu kan jilbab yang kuminta tolong mama untuk disetrikakan! Minggu lalu, Afni dihukum untuk memakai jilbab itu selama tiga hari, karena tertangkap basah menggunakan bahasa Indonesia!”
Tanganku bergetar hebat. Jadi.. jadi sedari tadi, akulah yang para santri tertawai? Jadi, mereka tersenyum dan menegurku bukan karena pesonaku tapi karena jilbab sial ini? Tunggu, berarti, yang mungkin ingin dikatakan ustadz tampan itu…
“Tapi, bagaimana bisa kamu dihukum mengenakan jilbab itu, padahal kamu baru ada di pesantren ini selama tiga puluh menit?!”
Sekali lagi, langit terasa runtuh, menimpaku. Rasa malu yang tak tertahankan membungkamku hingga perjalanan kembali ke rumah. Hingga ibuku mengusap pelan kepalaku sambil menarikku dalam pelukannya.
“Alya, masa awal mengenakan jilbab memang mungkin terasa berat. Terutama, lingkungan sekitarmu yang kurang mendukung. Tidak seperti Afni, atau mama, yang mengawali berhijab sejak kami mondok di pesantren. Tapi mama yakin, Alya, anak mama yang cantik ini, tidak akan menyerah begitu saja pada gengsi atau rasa malu.”
Ya, ibuku benar. Mungkin, sejak kemarin, aku hanya memikirkan kesan orang lain padaku saat melihat perubahan ini. Tapi, mengapa aku harus peduli? Bukankah berhijab memang perintah Allah? Tuhan yang telah memberikan aku kehidupan di dunia ini. Tuhan yang telah begitu banyak memberiku nikmat-Nya. Astagfirullah, maafkan aku ya Rabb. Aku berjanji, sejak helaan nafas ini, akan kuubah niatku. Semula, mungkin, aku berhijab karena orang lain, tapi kini, aku akan berhijab karena-Mu. Hanya untuk mendapatkan senyum-Mu, bukan untuk mengumpulkan senyuman manusia, atau makhluk lain.
SELESAI
Tangerang Selatan, 22 0812-11:45
-Shafia Asy Syifa-
Bak tokoh nenek sihir di cerita puteri salju, tanpa peduli bahwa ia mungkin telah muak, kutanya cermin tak berdosa itu untuk kesekian kalinya. “Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau…”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.” Sambung seseorang di belakangku.
“Regiza!” Pekikku. “Ngapain kamu ke sini? Ganggu ritualku saja!” Candaku.
“Memangnya tiga puluh menit masih kurang, non?”
“Kurang, sebentar…lagi.”
“Dasar tukang dandan! Walaupun sudah berhijab, masih…saja narsis!”
Kami pun tertawa kecil.
“Tapi gimana penampilanku ini? Tetap cantik kan, meski berhijab?”
Ia perhatikan aku dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian tersenyum, tanpa mengatakan sepatah pun kata. ‘Pasti ada yang salah’ batinku cemas. Kuperhatikan lagi pantulan diriku di cermin tersebut. Kerudung langsung pakai atau biasa disebut bergo itu terlihat bagus-bagus saja disandingkan dengan atasan kaos lengan panjang dan blue jeans. Hmm, memang terlalu sederhana dan tidak biasa bagiku. Apa boleh buat, baju panjang dan jilbabku belum banyak, mengingat baru hari ini aku mengenakan jilbab. Tak mungkin juga kukenakan pakaian ibuku yang sudah ketinggalan zaman. ‘Plis, deh!’ gerutuku dalam hati.
“Kok senyum saja, Za? Kenapa, sih?”
“Ga, aku heran saja, kenapa ya, kamu tuh ga bosan-bosan sama warna oranye? Tuh lihat! Jilbab, baju, sepatu, tas, sampai jam tangan, semuanya warna oranye!”
Aku hanya tertawa mendengarnya. Mana mungkin aku bosan dengan warna kesukaanku sejak kecil. “Kukira kenapa! Jadi, bagaimana penampilanku?” Ulangku. Ia lipat kedua tangannya di depan dada, seraya memicingkan sebelah matanya. “Cantik. Lebih cantik dari biasanya. Ini baru… penampilan seorang wanita muslim!” Jawabnya.
Aku tersipu.
Regiza mungkin memang bukan seorang wanita muslim. Ia seorang beragama katolik yang taat. Namun, ia sangat santun dan mampu menghormati orang yang berlainan agama. Ia bahkan, dengan tulus, mendukung mereka untuk menjalankan kewajiban agama mereka. Ya, sama seperti saat ini. Subhanallah.
“Jadi? Sudah siap masuk kelas?” Tanyanya dengan kedua alis terangkat.
Aku mengangguk mantap. Kutarik otot-otot pipiku, siap menebar pesona, mengumpulkan garis-garis senyuman di seantero kampus. Yeah! Meskipun sudah berhijab, aku harus tetap eksis. Lalu, kami pun melangkah meninggalkan ‘markas’ pribadiku itu.
“Alya? Lo Alya kan?” Tanya seorang teman kelas kami. Radith.
Aku mengangguk, dan berusaha memberikan senyuman terbaikku. ‘Target pertamaku hari ini’ batinku.
“Aha..ha..ha..ha.. Lo salah minum obat ya? Atau kesambet jin Arab? Ha..ha..ha..ha..” Ejeknya. Ia tertawa terbahak-bahak sampai wajahnya memerah bak tomat busuk, sambil memegangi perut gembulnya. Regiza hanya bisa tersenyum.
Tunggu, skenarionya tidak seperti ini. Harusnya, ia terpesona dengan penampilan baruku. Ini tidak benar. “Memangnya ada yang salah ya?” Tanyaku kesal. Dengan susah payah, Radith berusaha menghentikan tawanya. “Bagus sih, sebenarnya. Cuma gue kaget saja, tiba-tiba lo berubah begini. Biasanya kan lo suka pakai baju yang agak-agak menggoda iman.”
“Habis, aku malu. Mamaku berjilbab. Adik perempuanku, Afni, sudah dua tahun mondok di pesantren. Masa’ aku ga pakai jilbab juga. Gengsi dong!”
“Woles, non.. ayo dong masuk kelas..” Ajak Radith, sambil menarik tangan kananku. Sedangkan Regiza, mengekor di belakangku.
Sesaat setelah kami memasuki ruang kelas, bagaikan sekelompok mahasiswa paduan suara, terdengarlah seruan yang tak kalah kompak dengan supporter bola di stadion Gelora Bung Karno. “Subhanallah!! Alya sudah taubat, rupanya!” Seru seluruh temanku yang sudah duduk manis di kursi mereka masing-masing. Langit runtuh saat itu juga.
Kondisi ini semakin memburuk saat Radith menambahkan dengan gaya dan intonasi yang ‘melambai’, “Sesuatu banget deh, Ya!” kemudian, mereka semua tertawa menang. Mereka menertawaiku!
Astagfirullah, siapa dalang dibalik semua ini? Siapa? Harusnya mereka memujiku, bukan mengujiku dengan entah apa namanya ini. Skenarioku GAGAL TOTAL. Aku tidak pernah diejek sebelumnya, aku selalu di-pu-ji! Oh! Ingin rasanya aku berlari keluar kelas dan menangis sejadi-jadinya. Tapi sepertinya, nasib baik sedang bosan berpihak padaku hari ini. Sosok dosen tergahar di kampus ini, Pak Anton, sudah bertengger di depan pintu kelas dan menebar sorotan mautnya mengitari kelas yang gaduh ini. We’re dead.
.ᵴ.
Pagi ini aku terbangun dari tidurku dengan perasaan jengkel bukan main. Bukan hanya dipermalukan di depan kelas. Karena kondisi kelas yang gaduh bagaikan pasar burung, pak Anton membombardir kami dengan quiz dadakan dengan kesulitan tingkat dewa, selama dua jam perkuliahan itu. Meskipun, aku mendengar seseorang memasuki kamarku, aku masih enggan membalik badanku, apalagi kalau sampai harus bangkit dari pembaringanku.
“Kak.. Ayo bangun. Sudah siang.” Ujar ibuku, sambil mengusap kepalaku. Aku bergeming.
“Kak, kita kan sudah janji mau mendaftarkan Tito di pesantrennya Afni hari ini. Kasihan kan dia, om dan tante mu itu sibuk cari nafkah sampai tak sempat memperhatikan dia.”
Kali ini aku berbalik, sisi kemanusiaanku terpanggil.
Ibuku tersenyum, lalu mengusap kepalaku. “Anak baik. Mari bersiap. Kerudung oranye kesukaanmu sudah ibu siapkan.”
Aku mengangguk. “Terima kasih, mamaku sayang.”
Ia tersenyum, lalu melangkah anggun meninggalkan kamar.
Air yang membasahi tubuhku membawa pergi rasa kesal yang tadi menggelayutiku, membawa kembali semangat juangku yang sempat surut karena kekalahan telak yang kudapat, kemarin. Ya, hari kemarin sudah berlalu. Mungkin tuhan mengujiku di hari pertamaku mengenakan jilbab. Tapi, aku tak akan menyerah. Hari ini aku akan lebih memesona lagi, menebar lebih banyak senyuman di muka bumi. Ya, benar, bukankah senyum itu shodaqoh? Semakin banyak aku tersenyum, atau membuat orang lain tersenyum, maka pahala yang kudapat akan semakin berlipat!
Aku mengangguk-angguk mantap, sambil mematut diri di cermin meja riasku. Sapuan make up tipis sudah kupoles sedemikian rupa di wajahku yang rupawan. Penampilanku sudah hampir sempurna. Aku hanya perlu mengenakan jilbab oranye kesayanganku. Aku yakin, biarpun aku belum pandai membentuknya, aku tetap akan terlihat memesona. Lihatlah buktinya! Pantulan diriku di cermin itu begitu memukau. Maka dengan percaya diri tinggi, aku pun melaksanakan ritual penutupku.
“Wahai cermin ajaib, siapakah wanita tercantik di negeri ini?”
“Dikau seorang, puteri Alya yang cantik jelita.”
Kemudian, aku terkikik geli. Apa kata ibuku jika ia melihat kelakuan anaknya yang satu ini.
“Alya, kamu sedang apa sih? Kok tertawa sendiri?” Tegur ibuku yang kini berdiri di ambang pintu.
“Tidak ada apa-apa kok, ma. Alya senang saja bisa mengunjungi Afni.”
“Oh.. mama kira kamu kenapa. Oh ya, kerudung adikmu jangan lupa dibawa ya. Mama lupa memasukkannya ke tasnya.”
“Afni minta tolong setrikakan baju lagi?”
“Ya, katanya setrika wali kamarnya sedang rusak, jadi tidak bisa meminjam setrikanya. Yah, kamu kan tau sendiri, peraturan disana. Para santri tidak diperbolehkan membawa barang-barang elekronik.”
“Hmm, tapi kerudungnya yang mana ya?”
“Warnanya sama dengan kerudungmu itu. Nah, itu dia.” Ujarnya seraya menunjuk kerudung oranye yang menggantung di lemari jilbabku.
“Oh, Alya kira, punya Alya. Habisnya, mama taruh di samping kerudung kesayanganku sih.”
Ia tersenyum.
“Ya sudah, maaf. Maklum mama kan sudah berumur.”
Kami tertawa bersamaan. “Ya, mama, nanti Alya bawakan.”
“Mama tunggu di mobil, ya.”
Aku mengangguk.
.ᵴ.
Pemandangan di wilayah pondok pesantren ini selalu mengingatkanku akan kampung halamanku di pelosok Jawa Barat. Rerindangan pohon yang tak kenal lelah menaungi makhluk hidup di sekitarnya, juga, hembusan angin sepoi-sepoi yang menyapunya. Padahal, pondok pesantren ini tidak terletak di pedesaan. Subhanallah.
“Ayo, kita turun! Nanti, setelah beres urusan pendaftarannya Tito, baru kita kunjungi Afni di asrama puteri.” Ajak ayahku seraya membuka sabuk pengamannya.
“Mmh, Alya tunggu di mobil saja deh, pa.” Sahutku dari kursi paling belakang.
“Kak Alya, yakin? Kan di dalam mobil pengap.” Sahut Tito.
“Ya, nanti kalau aku bosan, atau kepanasan, kan bisa tunggu di saung-saungan dekat sini.”
Ayahku menghela nafas.
“Ya sudah, kunci mobilnya papa tinggal. Jangan lupa tutup jendela dan kunci mobil, kalau mau keluar.”
“Siap, bos!”
Ibuku tersenyum, lalu menggeleng, sebelum akhirnya bersama Tito dan ayah, meninggalkan aku sendiri. Benar, sen-di-ri, dan itu berarti..
“AKU BEBAS!!!!!!”
Aku tak akan bisa beraksi dengan ayah dan ibuku dekatku. Tak leluasa menimbun butir-butir pahala yang akan kudapat dari pesonaku ini. Maka, segera kupatut diriku pada cermin kecil yang selalu menunggui saku celanaku, membenahi make up dan jilbabku yang agak berantakan. Tanpa basa-basi lagi, kubuka rangka besi itu dan menguncinya.
Kudengar, pemuda-pemuda alim menyukai wanita yang anggun dan sholehah. Walaupun mungkin, aku belum menjadi wanita sholehah, setidaknya aku bisa menunjukkan bahwa aku adalah wanita yang anggun. Maka, aku pun coba berjalan seanggun mungkin. ‘Siapa tau bisa memikat hati seorang ustadz muda yang tampan.’
Baru beberapa meter aku melangkah, dua garis senyuman sudah berhasil kudapatkan dari dua orang santri putra yang berjalan mendahuluiku.
“Assalamu’alaikum, ukhti” Sapa mereka, masih dengan senyuman.
“Wa’alaikum salam.” Jawabku dengan nada lembut.
‘Awal yang sempurna!’
Mulanya hanya dua, lalu terus bertambah menjadi empat, lima, delapan, sepuluh, dua belas, lalu lima belas. Semakin banyak lagi senyuman yang kudapat, sejalan dengan menit-menit yang berlalu saat aku duduk di sebuah saung kecil dekat kolam ikan. Terlalu banyaknya senyuman yang kudapat, membuatku lupa akan hitungannya. ‘Ternyata mendapatkan pahala dari menebar senyum itu sangat mudah!’ Aku sangat menikmati saat-saat kejayaan seperti ini.
“Assalamu’alaikum, ukhti.” Ujar seorang pemuda seraya menghampiriku.
“Wa’alaikum salam…” jawabku dengan binar cerah di kedua mataku.
‘Tampannya……..! Tuhan benar-benar bermurah padaku hari ini.’ batinku gemas.
“Maaf ukhti, tapi tidak sepatutnya ukhti berada di sini.”
Kalimat itu sukses membuat kerutan di dahiku terpaut, menyatu.
“Maksud ustadz? Saya tidak boleh duduk di sini?”
Ustadz muda itu tertawa kecil.
“Loh, memangnya sudah berapa lama kamu di sini, sampai tidak mengerti peraturan di pesantren ini?”
Mungkin pikiranku terganggu akan ketampannan pemuda di hadapanku, sehingga aku tak mampu mencerna kata-kata yang ia lontarkan dengan baik. Maka, dengan polosnya aku menjawab. “Baru sekitar tiga puluh menit, ustadz.”
Kini, giliran alisnya bertaut.
“Tapi, bagaimana bisa….”
“Alya! Cepat kemari! Kita jalan ke asramanya Afni!” panggil ayahku dari kejauhan, memotong percakapanku dengan sang ustadz tampan.
Helaan nafas kekecewaan pun tak mampu kusembunyikan, “Maaf uztadz, saya harus pergi.”
Aku pun berlalu, meninggalkan sang ustadz tampan dengan wajah keheranan. Sambil menggaruk dahi kananku yang tak terasa gatal, rasa penasaranku muncul. ‘Kira-kira, apa yang ingin dikatakan ustadz itu ya?’
“Hmm, dengan rok itu, kamu terlihat seperti santri yang mondok di sini, kak.” Ujar ibuku dengan garis senyum di wajahnya.
Tunggu, apa mungkin..
Itulah mengapa ustadz tadi bertanya aneh padaku. Aku pun terkikik, tak sanggup menahan geli yang menggelitik perut.
“Ih, kak Alya aneh! Tertawa sendiri tanpa sebab. Seperti orang gila saja!”
“Hei Tito, kamu kan masih kecil. Tidak perlu mengurusi urusan orang dewasa!”
Ia memberengut. Aku gembira.
Beginilah rasanya kembali menjadi puteri cantik yang memesona. Dikelilingi oleh banyak pasang mata yang menoleh dan membalas senyuman manisku. Hanya saja, biasanya aku mungkin hanya seorang puteri iblis, yang tak bosan memamerkan auratnya. Aku pun berjalan perlahan, mengekor pada ayahku, ibuku, dan Tito.
“Kok banyak santriwati yang cekikikan sejak kita lewat ya?” Tanya Tito, memecah lamunanku.
“Ya, mungkin ada hal lucu yang sedang mereka bicarakan.” Jawab ayahku, bijak.
“Tapi aneh, om! Tito perhatikan, mereka tidak tertawa sebelum kita lewati!”
“Sudah, sudah, tidak baik su’udzon sama orang lain! Biarkan sajalah mereka tertawa sesuka hati.” Sahut ibuku.
Sedangkan aku? Aku hanya tersenyum mendengar celotehan anak itu. Sudah jelas bukan? Mereka tertawa karena terpesona melihatku. Mereka senang kedatangan tamu yang cantik jelita sepertiku. Ternyata pesonaku tidak hanya terpancar bagi kaum adam, tapi juga pada kaum hawa, yang mungkin, menyimpan rasa iri akan kerupawananku ini.
.ᵴ.
“Kak Afni, aku heran deh! Masa’ dari tadi kami lewat, banyak santriwati yang menertawai kami!” Seru Tito, lagi, pada Afni.
Afni selesaikan suapan terakhirnya. Lalu meminun seteguk air mineral.
“Ah, mungkin itu cuma perasaan kamu saja, To.” Jawabnya.
“Iya, Afni benar, To. Kamu saja nih yang ke GR-an!” Sambungku seraya membantu ibu, merapikan bekas makan kami.
Tito mendengus. “Aku serius, kak! Laki-laki kan tidak seperti perempuan yang lebih mengandalkan perasaannya! Tito punya alasan logis kok!”
“Ya, ya. Alasan yang tadi itu, kan? Dari pada berisik begitu, lebih baik bantu kami buang sampah ini ke tong sampah.”
Aku pun menyodorkan sebungkus sampah padanya, sambil tersenyum licik.
“Akan Tito buktikan, bahwa dugaan Tito itu beralasan!”
Ia pun menghentakkan langkahnya karena jengkel. Aku tersenyum menang, sambil menopang dagu pada meja yang kami gunakan. Tak lama kemudian, ia kembali dan berdiri mematung di belakangku.
“Kak Afni, Tito boleh Tanya sesuatu?”
Afni mengangguk cepat. “Memangnya Tito mau tanya apa?”
“Language Indiscipline Student, apa artinya?”
“Mmh, Murid yang melanggar disiplin bahasa. Kira-kira artinya seperti itu. Memangnya kamu dapat dari mana kalimat seperti itu?”
Ia kemudian tersenyum lalu tertawa terpingkal-pingkal sambil berjongkok dan memegangi perutnya.
“Kok malah tertawa? Tau dari mana kalimat seperti itu?”
“Dari situ!” jawabnya sambil menunjuk kearahku. “Dari tulisan hijau di belakang jilbabnya kak Alya!”
Jawaban itu datang bak guntur yang menyambarku. Sontak kutarik sisi belakang jilbab yang kukenakan, ada tulisan hijau yang tak seharusnya ada di sana. Sementara Afni ikut tertawa, gelagapan, kubuka tas selempangku dan menarik jilbab oranye di dalamnya. Jilbab oranye itu mulus, tanpa ada warna lain sedikitpun.
“Kak Alya, yang kakak pakai itu kan jilbab yang kuminta tolong mama untuk disetrikakan! Minggu lalu, Afni dihukum untuk memakai jilbab itu selama tiga hari, karena tertangkap basah menggunakan bahasa Indonesia!”
Tanganku bergetar hebat. Jadi.. jadi sedari tadi, akulah yang para santri tertawai? Jadi, mereka tersenyum dan menegurku bukan karena pesonaku tapi karena jilbab sial ini? Tunggu, berarti, yang mungkin ingin dikatakan ustadz tampan itu…
“Tapi, bagaimana bisa kamu dihukum mengenakan jilbab itu, padahal kamu baru ada di pesantren ini selama tiga puluh menit?!”
Sekali lagi, langit terasa runtuh, menimpaku. Rasa malu yang tak tertahankan membungkamku hingga perjalanan kembali ke rumah. Hingga ibuku mengusap pelan kepalaku sambil menarikku dalam pelukannya.
“Alya, masa awal mengenakan jilbab memang mungkin terasa berat. Terutama, lingkungan sekitarmu yang kurang mendukung. Tidak seperti Afni, atau mama, yang mengawali berhijab sejak kami mondok di pesantren. Tapi mama yakin, Alya, anak mama yang cantik ini, tidak akan menyerah begitu saja pada gengsi atau rasa malu.”
Ya, ibuku benar. Mungkin, sejak kemarin, aku hanya memikirkan kesan orang lain padaku saat melihat perubahan ini. Tapi, mengapa aku harus peduli? Bukankah berhijab memang perintah Allah? Tuhan yang telah memberikan aku kehidupan di dunia ini. Tuhan yang telah begitu banyak memberiku nikmat-Nya. Astagfirullah, maafkan aku ya Rabb. Aku berjanji, sejak helaan nafas ini, akan kuubah niatku. Semula, mungkin, aku berhijab karena orang lain, tapi kini, aku akan berhijab karena-Mu. Hanya untuk mendapatkan senyum-Mu, bukan untuk mengumpulkan senyuman manusia, atau makhluk lain.
SELESAI
Tangerang Selatan, 22 0812-11:45
-Shafia Asy Syifa-
Langganan:
Postingan (Atom)