Jerat Xesbeth
Oleh Shafia Asy Syifa
Segala yang dapat kau lihat,
Palsu.
Sedangkan yang tak dapat kau lihat,
Nyata.
Penglihatanmu dibuatnya buta.
Beritahu aku, bagaimana rasanya,
Melihat yang bukan sebenarnya,
Namun akhirnya, merasakan hal sebaliknya.
*****
Aku bukanlah seorang yang percaya akan hal-hal gaib dan semacamnya,
biarpun anehnya, aku mempercayai adanya Tuhan. Satu-satunya alam selain
alam nyata yang kupercayai hanyalah alam bawah sadar yang ditempati oleh
mental atau jiwa seseorang. Tapi, aku menghargai kepercayaan sebagian
orang tentang adanya alam gaib dan tidak pernah melarang seorangpun
untuk berhenti mempercayainya. Aku tidak peduli. Lagi pula, apa yang
bisa didapat oleh seorang psikolog dengan mempercayai hal-hal tidak
penting seperti itu.
Dua minggu pertamaku menjabat
sebagai seorang staf konseling di sebuah sekolah dasar bertaraf
internasional, berjalan mulus tanpa hambatan yang cukup berarti. Semua
permasalahan siswa di sekolah ini masih dalam tahap wajar. Hingga
akhirnya, tahap observasiku memasuki kelas tiga.
Saat
itu bel istirahat telah berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas
untuk bermain dan membeli makanan serta minuman, kecuali seorang anak
yang bernama Erick. Ia tidak beranjak dari kursinya. ‘Ia pasti membawa
bekal. Mungkin ia tidak diizinkan untuk makan sembarang makanan.’
Pikirku. Namun, alih-alih mengeluarkan bekalnya, ia keluarkan sebuah
sketch book beserta cat air dan perlengkapan lukis lainnya, sebelum kemudian mulai melukis. Hal itu menarik perhatianku.
“Kenapa ia tidak pergi keluar kelas seperti anak-anak lain atau memakan bekalnya?” tanyaku pada guru kelasnya.
“Tidak
perlu cemas. Dia memang tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya, tapi nilainya tetap bagus.” Jawab ibu Tari dengan
santainya.
“Sejak kapan?”
“Sekitar dua tahun yang lalu,
sejak orangtuanya bercerai.” Jawabnya sambil melahap roti isi di
hadapannya. Seolah-olah sikap Erick tidak membutuhkan atensi lebih.
Dengan
sedikit geram di dada, kuhampiri anak tampan berambut hitam pekat yang
sedang bermain dengan imajinasinya itu. “Hai, sedang apa?” tanyaku.
“……” Ia tak menjawab. Masih menggeluti lukisannya.
“Saya miss Kania, atau kalau kamu keberatan, kamu boleh panggil saya kak Kania. Namamu Erick, kan?”
“……” Lagi-lagi aku diperlakukan seperti Jin yang tak kasat mata. Ia tak bereaksi sedikitpun.
“Ehm, sedang melukis apa?”
“……”
Kuhela nafas perlahan sambil mencari jalan keluar. Kuambil secarik kertas HVS dari lemari, lalu duduk disebelahnya.
“Boleh saya ikut melukis?” Kali ini ia menoleh dan menyodorkan cat airnya padaku. Kami pun melukis sampai bel kembali berbunyi.
Aku tahu, ia tidak bisu. Namun, belakangan, kuketahui bahwa Erick mulai
berhenti berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya semenjak ia mulai
melukis lukisan itu. Gambaran tentang sebuah tempat yang luar biasa
indah dengan beragam tumbuhan dan makhluk yang indah pula. Ia selalu
melukis dengan tema yang sama, menggambarkan detil-detil tempat menjadi
karya yang berkonsep luar biasa. Lukisan tentang sebuah negeri lain yang
mungkin hanya ada di imajinasinya saja.
*******
Sebulan sudah kupantau dan coba untuk menterapinya, tapi hasilnya
hampir nihil. Ia hanya bereaksi saat aku melukis bersamanya. Tapi satu
hal yang kupahami, ia kesepian dan membutuhkan teman. Oleh karenanya, ia
tidak pernah menghindariku. Walaupun masih, tak juga mengeluarkan
sepatah kata pun padaku
Selama itu pula, aku masih belum
menemukan benang merah antara kedua sebab ‘kebisuannya’ itu. Perceraian
orangtuanya, dan lukisan-lukisan itu. Akhirnya aku pun sampai pada
sebuah keputusan. Aku perlu mengunjungi rumahnya (melakukan
home visit) untuk mengumpulkan data yang lebih terprinci.
Rumah
tempat ia tinggal merupakan sebuah rumah bernuansa putih yang berdiri
di atas lahan seluas dua ratus hektar. Rumah itu bergaya Eropa dengan
empat patung besar sebagai pilarnya. Empat anjing herder dan dua orang
satpam bertubuh kekar menjaga gerbangnya.
“Nyonya besar minta maaf
karena tidak bisa menemui ibu Kania. Ada kepentingan yang tidak bisa
ditunda, katanya. Nyonya juga sangat berterimakasih atas kunjungan Ibu
Kania dan meminta saya membatu ibu, sebaik mungkin.” Ujar seorang wanita
paruh baya berpakaian kasual.
“Silakan duduk. Oh ya, maaf, ibu mau minum apa?” sambungnya.
“Apa saja, yang penting minuman hangat.” Pintaku. Kebetulan, cuaca petang ini sangat tidak mendukung. Sekelompok awan
Cumulonimbus sudah bertengger di kawasan sekitar rumah ini.
“Kalau
ada yang mau ibu ketahui, silahkan tanyakan pada saya. Kebetulan, saya
ini kepala pelayan yang merangkap sebagai pengasuh
den Erick sejak lahir.” Tawarnya, setelah memerintahkan pelayan lainnya untuk membuatkan minuman.
Setelah berbasa-basi sedikit tentang Erick, aku pun menanyakan inti
dari benang kusut pemasalahan ini. Kuteguk cokelat panas yang
dihidangkan padaku. Kuputar otakku, mencoba menemukan pertanyaan yang
tepat.
“Mmh, apa Erick pernah berinteraksi dengan ibunya atau orang-orang yang ada di rumah ini, sejak dua tahun yang lalu?”
Wanita itu menggeleng, lesu.
“Sama sekali?”
“Ya, tidak sama sekali.
Den Erick hanya mengangguk atau menggeleng untuk menjawab pertanyaan kami.”
“Apa anda tau penyebabnya?”
“Entahlah, tapi semenjak
den Erick kembali, setelah ia menghilang dari kamarnya di suatu malam. Ia membisu.”
“Menghilang?” Ini detil penting baru yang kudengar.
“Ya, hal itu terjadi tanpa sepengetahuan nyonya. Kebetulan, saat ia sedang dinas di luar negeri
den
Erick menghilang. Kami mencarinya keseluruh penjuru rumah, tapi tak
juga kami temukan. Hanya sesaat sebelum saya memutuskan untuk
melaporkannya pada nyonya besar,
den Erick kembali ditemukan, terbaring lemah di lantai kamarnya.”
“Boleh saya lihat kamarnya?”
Ia mengangguk. Lalu membimbingku menaiki tangga pualam.
Kamar
Erick sangat luas, dengan segala fasilitas di dalamnya. Kamar ini
semakin mencolok dengan sebuah foto berukuran super besar di depan
tempat tidurnya. Foto ia bersama ibunya di depan menara Eiffel “Foto
tahun lalu” ujarnya. Saat itu, Erick tertidur di ranjangnya.
“Pintu apa ini? Boleh saya buka?” Tanyaku pada si pelayan, saat melihat sebuah pintu di sudut ruangan.
“Ini pintu balkon, silahkan.” Ia buka pintu itu, dan segera menutupnya kembali karena angin kencang yang mendorongnya.
Tak
lama setelah itu, terdengar suara debam keras dari luar kamar. Sontak,
kami pun bergegas keluar kamar. “Maaf bu Kania, saya tinggal dulu. Ibu
silahkan melihat-lihat sekitar.” Aku mengangguk, lalu kembali memasuki
kamar.
Namun, saat kembali kumasuki kamar itu, Erick sudah tak lagi ada di tempat tidurnya. Secarik kertas gambar menggantikannya.
‘JANGAN IKUTI AKU’ bunyi tulisannya. Tubuhku bergetar.
‘Apa yang sebenarnya terjadi pada anak tak berdosa ini.’ Batinku.
Kucari ia di sekitar kamar. Ia tidak mungkin meninggalkan kamar ini,
karena tadi aku berdiri tepat di depan pintunya. Satu-satunya jalan
keluar lain hanya balkon yang kini pintunya menejeblak terbuka, sehingga
angin kencang dan tampias air hujan memburu masuk. Dengan gemetar hebat
di sekujur tubuh, kulawan arah angin itu dan tergelincir entah ke mana.
******
Paru-paruku dipenuhi air, nafasku sesak. Yang bisa kurasakan hanya air
di mana-mana, sampai sesosok makhluk mengeluarkanku. Ia rebahkan aku di
atas rumput selembut kapas. Aroma wangi pun mulai tercium. Samar-samar
kudengar suara-suara yang tak dapat kumengerti. Hingga, ia mengalungkan
sesuatu dileherku.
“Hei, kau bisa mengerti ucapanku,
makhluk tanah?” Tanyanya, sambil menepuk-nepuk pipiku dengan tangan
kecilnya. Kukerjapkan mata perlahan. Di depan wajahku, melayang sesosok
wanita cantik yang tak lebih besar dari seorang bayi baru lahir. Aku
terperanjat, terduduk mundur menghindarinya.
Aku pasti sedang bermimpi. Bermimpi melihat makhluk juga tempat yang dilukiskan Erick di setiap lembar
Sketch book-nya.
Bentangan padang bunga berwarna-warni yang menglilingi sebuah sungai
berair jernih. Tak jauh dari tempatku duduk, terhampar hutan tropis
dengan paduan warna cokelat, hijau, beserta warna-warna indah lainnya.
Kutepuk pipiku kencang-kencang, sakit. Lalu kuberanikan diri mencubit
pipi makhluk menggemaskan itu di hadapanku.
“Ouch! Apa
masalahmu?!” Protesnya sambil mengusap-usap pipinya. “Kau gila ya,
melompati air terjun setinggi tiga ratus ribu kepak sayap!”
“Makhluk apa kau ini? Dimana saya?”
“Pengetahuan
makhluk tanah memang dangkal sekali. Bagaimana bisa kami mengenal
kalian, tapi kalian tidak mengenal kami? Namaku Gael. Aku penjaga
gerbang dimensi ini. Kau?”
“Kania. Bisakah kau berhenti memanggil saya makhluk tanah? Risih.” Protesku.
“Bukankah kalian memang diciptakan dari tanah?”
“Menurut kitab memang begitu, tapi…”
“Sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kau jawab, bagaimana bisa kau masuk ke sini?”
“Saya tidak tahu persis. Tadi, saya mencari, Erick. Tunggu..”
“Oh, tidak, kemana dia pergi? Saya harus segera menemukannya!” Seruku seraya mulai mencarinya, berlari tak tentu arah.
“Hei,
makhluk tanah, tunggu! Percuma saja kau mencarinya! Lebih baik kita
sembunyi sebelum akhirnya aku bisa mengeluarkanmu dari sini!”
Kuhentikan langkahku saat itu juga, dan hal itu membuat Gael menabrak
wajahku. “Apa maksudmu?” tanyaku. Tapi, sayangnya, belum sempat ia
menjelaskan apapun kepadaku, terdengar suara riuh rendah, mendekat.
“Oh,
tidak Inilah alasan mengapa aku benci makhluk tanah. Kepanikan mereka
mengacaukan segalanya. Cepat ikuti aku.” Bisiknya, sambil terbang ke
arah semak tanaman bunga berwarna ungu. Kami merunduk bersama.
“Ada
apa, Jendral Zeth?” Tanya sesosok makhluk tampan, bertubuh tinggi besar
dengan pakaian bak prajurit Romawi, dengan suara berat, serak.
“Bau daging busuk, Pangeran!” Jawab sesosok unicorn bertanduk merah. Sontak kuendus tangan mungil Gael. Harum.
Ia mendengus kesal.
“Yang ia maksud itu, kau, bodoh!” desisnya geram. Aku mengerenyit.
Entah sejak kapan mereka bergerak, tiba-tiba saja kami sudah terkepung
oleh makhluk-makhluk indah itu. Peri bunga, roh pohon, harimau putih,
merpati putih, Unicorn, dan banyak lagi yang lainnya, berdiri mengitari
kami. Hening. Aku terkesima.
“Jangan terlalu senang,
yang kau lihat ini bukanlah kenyataan. Sebentar lagi, pendar di matamu
akan berubah muram.” Bisik Gael ditelingaku.
Saat itu juga, tanah tempat kami berpijak bergetar hebat. Seiring
dengan mantra aneh yang diucapkan oleh gerombolan makhluk-makhluk yang
mengitari kami. Perlahan-lahan, pemandangan di sekitarku seakan meleleh.
Padang bunga dan hutan tropis yang tadi kulihat, menjadi kering
kerontang, tanpa sedikitpun warna cerah disana. Aliran sungai pun
mengering, dan menyisakan ceruk panjang dan dalam seperti jalur ular
raksasa.
Makhluk-makhluk indah di sekitar kami juga berubah,
menjadi makhluk-makhluk mengerikan. Sang pangeran tampan, berubah
menjadi monster bertaring tajam, dan Jendral unicorn itu berubah menjadi
tengkorak kuda bertanduk merah menyala.
Tubuhku bergetar hebat.
Perlahan, gerombolan itu menyingkir, memberi celah. Di tengah celah
itu, muncul sebuah pohon hitam teramat besar. Akar-akarnya melilit kedua
tangan dan kaki seorang anak kecil berambut hitam pekat. Erick.
Sendi-sendi lututku melemah, tubuhku bergetar hebat, tak kuasa menopang
beban tubuhku, aku terduduk, lemas.
“Sudah ku bilang jangan ikuti aku!! Kenapa kakak tidak menurut! Kenapa? Bertahun-tahun kucoba untuk menyembunyikan semua ini…”
“…
sekarang lihat apa yang telah kakak perbuat! Jika bukan karena kakak,
saat ini aku masih bisa bermain dengan pangeran Tarvarian dan Jendral
Zeth, juga teman-teman lainnya. Kakak jahat! Jahat!” Jeritnya, dengan
deraian air mata.
Sorot mata dan getar suaranya menyiratkan rasa
takut, marah dan kecewa. Aku tergugu, entah bisa berkata apa. Air mataku
mengalir begitu saja karena penyesalan yang amat sangat. Tak pernah
sekali pun aku bermimpi, mencelakai anak bimbinganku sendiri. Jika semua
ini hanya mimpi, ingin rasanya segera terjaga. Ironisnya, semua ini
nyata.
Baru kucoba menggerakkan tubuhku untuk mendekatinya,
makhluk-makhluk di sekitarku segera menghalangi. Dengan sigap Gael
meraih tanganku dan menarikku menjauh dari kerumunan itu. Tangannya yang
bebas mengeluarkan cahaya menyilaukan dan membuat sebuah lubang di
permukaan tanah. Ia dorong aku masuk kedalam lorong cahaya itu sambil
berseru, “Maaf makhluk tanah. Saat ini tak ada yang bisa kau perbuat
untuk menolongnya, kau harus kembali ke dimensimu. Jika saatnya tiba,
akan kubukakan kembali pintu dimensi ini untukmu. Saat bandul kalung di
lehermu berpendar, kau akan kutarik masuk kesini. Karena sesuatu yang
sudah kau mulai, harus bisa kau akhiri. Bersiaplah.”
******
Kepalaku sakit bukan main, kupegangi ia dengan kedua tanganku.
Untunglah tempat aku terbaring terasa nyaman.“Ibu Kania baik-baik saja?”
Tanya sebuah suara di sampingku. Kubuka mata perlahan. Aku terbaring di
atas kasur di kamar Erick.
Kutegakkan diri, perlahan, masih
dengan sebelah tangan menyangga kepala. Tunggu, apa tadi aku hanya
bermimpi? “Dimana, Erick?” Tanyaku pada pelayan di sampingku. Ia
mengerenyit. “Maksud ibu?”
“Saya ingin bertemu Erick, sekarang.” Tegasku. Pelayan itu bertambah bingung. Kemudian, ia menghela nafas.
“Kalau memang itu yang ibu butuhkan untuk penulisan jurnal tentang
den Erick, mari ikuti saya.”
‘Jurnal. Jurnal apa yang ia maksud?’ batinku.
Kuikuti
ia perlahan meninggalkan ruangan. Namun, belum sempat kami pergi, satu
pemandangan janggal menahan langkahku. Foto Erick dan ibunya yang
menggantung di dinding kamar itu, berubah. Hanya tinggal foto ibunya,
berdiri sendiri di depan menara Eiffel.
Menyadari kebisuanku, si pelayan berdehem. Aku pun kembali mengekor.
Wanita itu mengajakku melintasi pekarangan belakang rumah tersebut.
Melintasi taman seluas tiga ratus meter dan berbelok ke sebuah lahan
yang dibatasi pagar berwarna putih gading. Ia bimbing aku memasuki area
tersebut, sampai pada sebuah pusara pualam berpahat nama, Erick Mulya
Pradana.
Sendi-sendiku melemas.
“Kebetulan, hari ini tepat dua tahun meninggalnya
den Erick akibat kecelakaan mobil. Walau bagaimanapun juga,
den Erick tetap ada dihati kami.”
Ini
tidak benar. Erick belum meninggal. Aku menggeleng tak percaya.
Keringat dingin membanjiri tubuhku. Kuusap wajah dan leherku. Ada sebuah
kalung berbandul batuan langka melingkari leherku.
“Ada apa, bu?”
“Ehm,
tidak apa-apa. Saya kira kunjungan kali ini cukup. Terima kasih
banyak.” Aku melangkah keluar dengan limbung. Segala hal yang terjadi
hari ini benar-benar membuatku bingung, tak mampu kecerna dengan otak
logisku yang picik.
*******
Keesokkan harinya,
hal aneh kembali kutemui. Semua data tentang Erick sejak kelas dua,
hilang begitu saja. Bahkan namanya menghilang dari daftar hadir di
kelasnya. Semua orang berkata persis sama dengan pelayannya. Erick sudah
meninggal sejak dua tahun yang lalu. Hanya beberapa bulan setelah
orangtuanya bercerai.
Butuh waktu berhari-hari bagiku
hingga akhirnya aku sampai pada sebuah kesimpulan yang tak ingin
kupercayai. Semua itu benar-benar terjadi, dan hanya aku yang
menyadarinya. Semua keanehan yang terjadi di dunia ini terpengaruh
dengan apa yang terjadi di dimensi asing itu.
Bayang-bayang Erick
yang menjerit pilu menghantuiku setiap waktu. Jika kenyataan bisa
kuubah, lebih baik aku saja yang terjebak disana. Biar aku saja yang
menanggung penderitaannya. Bayangkan, seorang anak harus menarik diri
dari dunia sekitarnya selama lebih dari setahun, hanya untuk
menyembunyikan keberadaan dimensi lain yang terlarang.
Akhirnya, kini aku mengerti alasan Erick melukis dengan tema yang sama
setiap hari. Jauh di dasar hatinya, ia pastilah ketakutan. Melalui
lukisan itu, ia berharap ada seseorang atau keajaiban yang bisa
membebaskannya. Meskipun mungkin ia tidak menyadarinya.
Seminggu sudah Erick terjebak disana. Kupegangi kepalaku yang terasa
berat sejak saat itu, dengan mata terpejam. ‘Waktumu hampir tiba.
Bersiaplah.’ aku terkesiap, suara Gael terdengar begitu dekat. Bandul
kalung di leherku berpendar menyilaukan. Anak tangga yang sedang
kududuki mulai bergetar dan runtuh satu per satu, hingga akhirnya aku
ikut tersedot kedalam pusaran kegelapan yang dingin dan mencekam.
******
“Kau
baik-baik saja, makhluk tanah?” Tanya Gael setelah aku mendarat dengan
sangat tidak sukses, “Menurutmu bagaimana?” seruku dari atas pohon
seraya mencoba meloloskan diri dari batang pohon yang menghimpitku,
kemudian jatuh ke tanah berdebu panas. Gael terbatuk.
“Bisakah kau mendarat dengan cara yang lebih cantik?”
“Bisakah
kamu membukakan pintu dimensi di daratan? Dua kali saya kemari, dan dua
kali juga saya terjatuh dari tempat tinggi! Beruntung kali pertama saya
kemari, saya terjatuh kedalam air.”
“Oh, maaf kalau begitu. Sayangnya, saat kau datang, tidak ada gerbang darat yang aman dari Barbazos dan Orcka… ”
“Siapa mereka?”
“Iblis yang merasuki pangeran Tarvarian dan jendral Zeth.” Ya, aku ingat, dua makhluk indah yang menjelma menjadi iblis itu.
“Lagipula…” sambung Gael, “Kau tidak benar-benar terjatuh kedalam air saat pertama kau datang kesini.”
“Maksudmu?”
Gael menatap berkeliling. “Dimensi ini, sudah seperti ini jauh sebelum Erick muncul.”
“Tapi,
saya benar-benar merasa...” potongku tak percaya, sebelum Gael
menarikku menyusuri hutan gersang dengan batang-batang pohon yang mulai
terbakar akibat suhu yang teramat tinggi.
“Maaf, tapi kita tak punya banyak waktu,” ujarnya dengan wajah berpendar. “Ada apa?” tanyaku kebingungan.
“Saat
Xesbeth semakin kuat, maka aku akan semakin melemah. Ia akan mampu
membuka pintu dimensi ini sesuka hatinya, mengambil jiwa makhluk tanah
dan meemperkuat dirinya. Hingga akhirnya ia mampu menguasai dimensi
manapun.” Jawabnya sampai akhirnya kami tiba di sebuah tempat yang
dikelilingi tebing-tebing hitam, runcing. Dengan bingung, kuikuti ia,
menaiki undakan di kaki tebing tersebut. Ia sodorkan sebuah busur panah
lengkap dengan anak panah yang baru saja ia sihir.
“Bidik
bayangan diatas sana. Ia adalah arwah dimensi ini. Jika kau
mengenainya, kau akan temukan jawaban atas setiap pertanyaan.” Ia tunjuk
sebuah bayangan yang berubah-ubah bentuk, di puncak tebing.
“Tapi saya tidak bisa memanah!”
“Dengarkan
baik-baik, kau hanya punya dua kesempatan. lebih dari itu, ia akan
pergi. Jika kau tidak mendapat jawabannya, maka kau tidak akan bisa
melewati tebing ini dan tak pernah bisa menyelamatkan Erick.”
Aku
tak punya banyak pilihan, pendar di wajah Gael semakin cepat. Ia
melemah. Dengan tangan beregetar hebat, kubidik bayangan bergerak itu.
Anak panah pertamaku melesat, dan meleset. Kubidik lagi bayangan yang
kini seperti menatapku, geraknya melambat. Bayangan wajah Erick pun
menghantuiku. “Percayalah pada anak panahmu.” Ujar Gael. Kutarik nafas
perlahan. Kupejamkan mata, lalu kutatap bayangan itu, tajam. Kulepaskan
anak panahku, ia melesat cepat, lalu, mengenainya. Seketika itu juga
kegelapan menelanku.
Ia tumbuh di dimensi kami, tanpa kami sadari
Bibit iblis bernama Xesbeth, si Pembohong,
Ia hisap sari kehidupan dimensi ini
Ia rasuki setiap makhluk di sini,
kecuali sang penjaga gerbang, sebab ia tak mampu melihatnya.
Ia menjadi sempurna saat seorang makhluk tanah murni menjadi temannya,
Sebelum kemudian menjadi mangsanya dengan dalih pengkhianatan.
Hanya seorang makhluk tanah lain berhati tulus yang mampu mengalahkannya,
dengan menyentuh wajah si mangsa dengan tangannya yang berlumur darah pengorbanan.
Itu pun, sebelum ia benar-benar melumat habis mangsanya.
Di balik tebing ini, segala hal dapat terjadi,berhati-hatilah.
Aku kembali
di
tempatku berpijak tadi. Tebing tinggi dihadapanku bergeser. “Siapkan
panahmu! Jangan takut, mereka tidak dapat menyentuhmu selama Erick masih
hidup. Incar inti merah di tubuh mereka!” Seru Gael. Aku pun melangkah
menembus kabut tebal di hadapanku dengan Gael yang masih berpendar di
sampingku.
Disana, pasukan iblis yang dikepalai
Barbazos menghadang kami. Kuarahkan anak panahku pada Barbazos, tepat
mengenai inti merahnya. Satu per satu kulesatkan anak panah pada pasukan
itu dengan mantap. Sebagian dari mereka tumbang, sebagian lagi mencoba
menyerang balik dengan senjata mereka. Satu pukulan gada mengenai kaki
kiriku, kakiku kebas, sakit luar biasa. Mungkin tulangnya patah.
Entahlah. Iblis berbentuk banteng raksasa berkaki beruang berdiri di
hadapanku, siap memukulkan lagi gadanya. Gael menarikku menjauh. “Bodoh!
Jangan buang-buang waktu! Cepat seberangi jembatan itu! Erick ada di
seberang sana. Aku dapat melihatnya! Kita belum terlambat!” Serunya
sambil menarikku dengan sekuat tenaga.
Kuambil
sebongkah batang kering untuk menyangga tubuhku. Tergopoh-gopoh kucoba
berlari menyeberangi jembatan di atas jurang gelap itu dengan Gael
terbang rendah di sampingku, dan sekelompok iblis yang mengejar kami.
“Akan kucegah mereka. Makhluk tanah, kupercayakan Erick dan dimensi ini
kepadamu. Selamat tinggal.” Ujarnya seraya berbalik arah. “Tidak! Gael!”
seruku. Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba saja ada cahaya
menyilaukan di dekatku, sebelum kemudian batuan besar menghantam
jembatan dan memutuskannya. Kucoba meraih apapun yang ada didekatku dan
menemukan akar berduri, pegangan jembatan itu. Aku berayun hingga tebing
seberang dan menghantamnya. Linu. Peganganku mengendur, kurasakan duri
besar menyayat kedua telapak tanganku. Darah segar mengalir membasahi
lenganku. Tapi, jeritan Erick memudarkan rasa sakitku. ‘Biarpun aku
harus mati, aku tak ingin mati sia-sia.’
Kupanjat tebing itu, dengan tambahan goresan di tiap gerakan. Semakin
dekat dengan puncak tebing itu, semakin banyak darah mengalir dari
tubuhku. Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan, tubuhku memucat. Aku
terengah, akhirnya sampai juga aku di permukaan datar. Tak jauh dariku,
sebuah pohon hitam besar melilit Erick hingga leher, dengan akarnya.
Erick hanya bisa menangis, tak lagi bisa bersuara. Aku tahu, waktuku
sempit.
Aku pun merangkak mendekatinya. “Sabar,
sayang. Kakak akan menyelamatkanmu.” Bisikku, tersenyum kepadanya.
Namun, tentu saja Xesbeth tidak tinggal diam. Ia lilitkan akar-akar
besarnya di kedua kakiku. Walaupun, akar-akarnya berasap, mulai
terbakar. “Bukankah kau tak kuat menyentuhku sebelum melumat habis
Erick?” tantangku. Ia berkeras, begitu juga aku. Kutarik diriku
mendekati Erick. Hanya semeter sebelum aku bisa menyentuh Erick, ia
lilitkan akarnya di pinggangku. Aku meronta, mencoba membebaskan diri,
tangan kananku mencoba menggapai Erick yang kini tertutup hingga
mulutnya. Sedikit lagi, hanya sejengkal lagi aku bisa meraihnya, Xesbeth
melilitku hingga leher, namun belum mampu meremukkanku. Erick melemah,
ia menguat. Aku terus mencoba menggapai wajah Erick walaupun Xesbeth
melilitku hingga kepala. Dari sela-sela akarnya kulihat Erick mulai
menutup matanya. Aku menangis, putus asa.
“TIDAAAAK!!!” jeritku.
Seketika itu juga akar-akar Xesbeth terlepas sehingga aku bisa
menyentuh wajahnya yang bebas. Tapi, sudah terlambat. Erick menghilang
bersamanya. Kegelapan kembali menelanku. Aku hanya bisa mendengar isak
tangisku sendiri. Semua sia-sia, Erick telah habis oleh Xesbeth, Gael
pun mungkin sudah tiada. Tinggal aku yang terjebak di sini sendiri.
Tangisku semakin jadi, sampai cahaya kembali menyelimuti tempat ini.
Cahaya yang awalnya hanya berwarna putih, berubah warna, menjadi cahaya
yang begitu penuh warna dan terlihat nyaman. Suhu panas yang awalnya
kurasakan, berangsur-angsur menjadi sejuk. Sesejuk udara pegunungan yang
belum terjamah tangan-tangan curang manusia. Nyeri dan rasa sakit di
sekujur tubuhku hilang begitu saja.
“Kakak, kak
Kania. Bangun kak.” Seru sebuah suara kecil. Kukerjapkan mataku
perlahan. Seorang anak laki-laki duduk disampingku dengan senyuman
cerah.
“Erick!” pekikku. Aku terbaring di tepi sungai yang dulu kulihat. Ia mengangguk dan memelukku saat aku duduk.
“Terima kasih.” Bisiknya.
“Kita selamat? Bagaimana bisa?” Tanyaku.
“Kakak menyentuhku tepat pada waktunya.”
Kami tertawa lega.
“Kalian
makhluk tanah yang luar biasa. Bagaimana bisa kami membalas jasa
kalian?” Tanya pangeran Tarvarian, dengan Gael, Jendral Zeth dan banyak
makhluk indah lain di sampingnya.
Kupandangi Erick dan Gael bergantian. Momen seperti ini sangat
emosianal. Berat sekali mengutarakan apa yang ada di kerongkongan ini.
“Katakanlah apa yang memang harus kau katakan, wahai manusia bijak.”
Ujar pangeran tampan itu sambil membungkuk rendah, diikuti oleh
rakyatnya.
“Tolong pastikan, tak ada orang lain yang bernasib sama dengan kami.”
Ia mengangguk dan memerintahkan Gael membukakan pintu kembali ke dimensi kami.
“Sekembali kalian ke dimensi manusia, gerbang ini akan kututup selama-lamanya.” Ujar Gael seraya membimbingku bangun.
“Baru kali ini kau menyebut kami manusia.” Sindirku
“Ya, kau harus memiliki kesan baik tentang kami disaat terakhir kan?”
Aku tak tau harus tertawa atau menangis mendengarnya. Kugenggam kalung pemberian Gael di leherku, gemetaran.
“Simpanlah. Setidaknya, kami hidup diingatan kalian, dan benda itu sebagai buktinya.”
Aku
tertawa getir, hingga pelukan kecil Gael di tangan kananku
memudarkannya. Erick ikut tersenyum, kemudian menarik pelan tanganku,
menuntunku menuju gerbang dimensi.
“Selamat tinggal” bisik Erick,
sambil melambai, hingga pemandangan di sekitar kami berganti menjadi
sebuah tempat nyaman yang sangat kami kenal. Dunia nyata.
SELESAI